Langit pagi Idul Adha menyimpan keheningan berbeda. Takbir mengalun lembut, menyentuh sanubari, dan membawa kita kembali pada sebuah kisah yang tak lekang oleh waktu, yakni kisah Nabi Ibrahim dan Ismail.
Ini bukan sekadar kisah penyembelihan, tapi kisah tentang melepaskan yang paling dicintai demi yang Maha Dicintai.
Di Hari Raya ini, kita diajak untuk merenungi satu kebenaran agung: Allah adalah pemilik segalanya. Apa pun yang kita miliki; anak, pasangan, jabatan, kecantikan, harta, bukan benar-benar milik kita. Kita hanya penjaga sementara atas titipan-Nya.
Dan karena itu, Allah akan menguji kita melalui apa yang paling kita genggam erat. Sebab Allah tidak ingin cinta kita terbagi. Jika ada sesuatu yang lebih kita cintai dari-Nya, maka ujian akan datang dari sana. Dan seringkali ujian paling berat datang dari apa yang paling kita perjuangkan dan kita takut kehilangan.
Idul Adha juga menyadarkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kecintaanmu pada dirimu akan selesai saat nyawamu dicabut. Ketampanan dan kecantikan yang kamu banggakan akan terkikis usia. Hartamu bisa hanyut dalam bencana, dicuri orang lain, atau kamu tinggal saat mati. Pasangan yang kamu cinta bisa Allah ambil lewat kematian, atau diambil orang lain jika memang bukan jodohmu.
Demikian juga anak-anakmu yang kamu peluk dengan kasih suatu hari akan menikah, pergi, dan menjadi milik orang lain. Pangkat dan kedudukanmu akan hilang begitu saja karena pensiun, rotasi, atau digantikan oleh generasi setelahmu.
Semuanya… sementara.
Maka dari itu, Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan. Ini tentang menyembelih ego, nafsu dunia, cinta yang berlebihan pada makhluk. Ia mengajarkan bahwa mencintailah sewajarnya, karena cinta terbesar hanyalah kepada Allah.
Pengorbanan terbesar manusia bukanlah daging atau darah, melainkan hatinya.
Hati yang bersedia melepaskan dunia untuk meraih akhirat. Hati yang berani menempatkan Allah di atas segalanya. Seperti Ibrahim, yang rela melepaskan Ismail bukan karena tak cinta, tetapi karena lebih cinta kepada perintah Tuhan.
Jadi saat kita menyaksikan hewan kurban rebah di tanah, jangan hanya melihat darah yang mengalir. Lihatlah ke dalam diri, adakah yang sudah kita relakan demi Allah? Ataukah kita masih menggenggam dunia dengan tangan yang terlalu erat?
Idul Adha adalah panggilan untuk ikhlas. Untuk rela. Untuk berserah. Karena pada akhirnya, yang kekal hanyalah cinta kepada-Nya.
Penulis: Danny Wibisono