Gimmick adalah kosakata Bahasa Inggris yang populer ditulis ‘gimik’ dalam Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut gimik adalah sesuatu (alat atau trik) yang digunakan untuk menarik perhatian.
Gimik juga merupakan istilah umum yang merujuk pada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabui, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain.
Dalam dunia marketing, gimik merupakan strategi pemasaran suatu produk dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa agar cepat dikenal dan banyak diminati.
Belakangan, penggunaan gimik makin melebar. Sejumlah kalangan bahkan menempelkan gimik saat menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat capres dan cawapres. Benarkah demikian?
Dari kacamata konstitusi, keputusan MK adalah perkembangan kemajuan sebuah undang-undang agar berlaku adil pada semua pihak tanpa diskriminasi. Ini jelas bukan sebuah gimik.
Sama halnya dengan aturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentag Pilkada, dimana seseorang memiliki hak pilih dalam pemilu jika sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah. Artinya, meskipun belum genap berusia 17 tahun, namun jika sudah/pernah menikah, maka memiliki hak pilh.
Analogi yang sama pada putusan MK Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Dimana persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepada daerah.
Perlu diketahui bahwa saat ini ada sekitar 26 kepala daerah di Indonesia yang usianya di bawah 40 tahun selain Gibran (data Kompas).
Putusan MK ini tentu sudah ditindaklanjuti Komisi Pemilihan Umum dengan merevisi aturan pada saat pendaftaran capres dan cawapres besok 19 Oktober 2023. Tak terkecuali para relawan yang telah bergerak mendeklarasikan Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto di berbagai daerah.
Pertanyaan besarnya adalah apakah upaya yang telah ditempuh Gibran, baik secara konstitusional melalui MK maupun penggalangan dukungan untuk menjadi cawapres akan direspon oleh Prabowo?
Menurut penulis, dinamika politik ke depan masih akan sangat cair. Deklarasi Cak Imin menjadi cawapres Anies Baswedan menjadi contoh betapa tidak terduganya arah pendulum politik nasional. Pasangan Anies – Cak Imin seperti membolak-balik logika dasar tentang relasi Islam tradisional dengan Islam moderat.
Penunjukan Cak Imin adalah bagian strategi Anies untuk mendapatkan dukungan, sekaligus memecah suara di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menjadi kantong pemilih Islam tradisional. Terlebih pesaing mereka Ganjar Pranowo begitu kuat menguasai elektabilitas di Jawa Tengah.
Analisa ini mungkin yang mendorong pendukung Prabowo Subianto memasangkan dengan Gibran, sebagai strategi pengais dan pemecah suara di Jawa Tengah. Itu pula alasan kenapa Prabowo tidak memilih tokoh Islam dari Jawa Timur seperti Mahmud MD, yang belakangan sudah dipinang PDIP sebagai pasangan Ganjar Pranowo.
Di luar utak atik pasangan Prabowo, perhatian publik saat ini masih terfokus pada isu ‘pemaksaaan’ hasil keputusan MK untuk mengakomodir Gibran menjadi cawapres. Tudingan ‘Politik Dinasti’ pun bertebaran ditujukan kepada Presiden Jokowi.
Penulis menduga, Presiden Jokowi tidak begitu saja mempertaruhkan kredibilitasnya demi putra mahkota. Sebuah ironi di tengah keberhasilannya mendulang puja puji rakyat Indonesia sebagai pemimpin yang mewakili rakyat kecil.
Alih-alih mendukung keberlangsungan kekuasaannya, Presiden Jokowi justru sangat mungkin menolak pencalonan Gibran, meski secara konstitusi telah berhasil memodifikasi aturan pilpres.
Dengan gayanya yang kalem dan tenang, Presiden Jokowi akan membalik tudingan minor kepadanya dengan tidak mengambil kesempatan emas untuk putranya. Di sinilah seorang Jokowi akan memenangkan hati pendukungnya sebagai negarawan. Sehingga dengan mudah Jokowi mendikte arah dukungan masyarakat kepada calon yang dipilihnya.
Lantas jika bukan Gibran, siapa yang memiliki peluang mendampingi Prabowo Subianto?
Erick Thohir adalah salah satu nama yang hingga saat ini memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi di banding kandidat lainnya. Dengan latar belakang pengusaha dengan prestasi menyehatkan kinerja BUMN, sosok Erick Thohir cukup dekat dengan kelompok Islam tradisional. Di dalam kabinet, Ketua Umum PSSI ini juga dikenal dekat dengan Presiden Jokowi.
Jika pilihan cawapres itu jatuh kepada Erick Thohir, maka pertarungan pemilihan presiden akan terpusat di Jatim dan Jateng (minus Jabar yang sudah dikuasai Ridwan Kamil sebagai bagian koalisi).
Elektabilitas Ridwan Kamil cukup untuk membantu pertarungan di Jabar. Apalagi isu terbaru paska putusan MK adalah merapatnya Gibran menjadi anggota Partai Golkar, setelah tidak memiliki posisi strategis di PDIP. Jika ini benar, maka Gibran akan menyusul adiknya Kaesang, berkiprah di partai baru.
Kini publik tinggal menunggu keputusan Prabowo Subianto untuk mengumumkan wakilnya. Apakah pilihan itu jatuh kepada Gibran, ataukah Erick Thohir, yang notabene sama-sama mewakili kepentingan Presiden Jokowi.
Tentu ini bukan sekedar soal popularitas dan elektabilitas. Tetapi juga dimensi kantong suara dan kekuatan logistik yang akan mendukung perjuangan pemilihan presiden.
Penulis: Danny K Wibisono*
*)Mahasiswa Ilmu Politik IISIP dan Ilmu Komunikasi Univ. Al-Azhar Indonesia