Sering kita mendengar bahwa tindakan yang kurang adil di salah satu pihak dalam sebuah kerjasama tetap saja dilakukan atas dasar adanya perjanjian. Jika kita kembali beracuan pada azas Pacta Sunt Servanda / Perjanjian mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang. Hal itu menjadi dasar dan acuan. Namun bagaimana jika perjanjian tersebut pada saat penyusunan ada tekanan atau paksaan??? Apakah bisa dibatalkan???
PERJANJIAN
Berbagai pakar merumuskan makna dari perjanjian intinya adalah perikatan antara satu dengan yang lain. Atau dalam KBBI dijelaskan perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua belah pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
TEKANAN/ PAKSAAN DALAM PERJANJIAN
Berdasarkan Pasal 1323 KUH Perdata menyatakan “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”.
Bentuk paksaan adalah beragam, namun yang terpenting ancaman atau paksaan tersebut akan mempengaruhi perjanjian yang dibuat. Contoh ancaman adalah sebagai berikut, jika yang bersangkutan tidak tanda tangan maka akan dibunuh, jika yang bersangkutan tidak menyetujui perjanjian maka rahasianya/ aibnya akan dibuka di muka umum.
YURISPRUDENSI TENTANG PERJANJIAN DI BAWAH TEKANAN
Hal ini juga sebagaimana yang dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2356 K/Pdt/2008 tertanggal 28 Februari 2009 yaitu:
“Perjanjian yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah merupakan “Miisbruik van Omstandigheiden” yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPerdata”.
Artinya jika dalam penyusunannya terungkap suatu dorongan atau tekanan atau ancaman, maka bisa diajukan gugatan pembatalan perjanjian. Dengan catatan terdapat bukti-bukti yang konkrit.