Tan Malaka, sosok pemikir revolusioner asal Sumatera Barat, sebelum mengarahkan diri ke haluan kiri dan pemikiran Marxisme, dikenal sebagai seorang muslim taat.
Lahir dan besar di lingkungan yang kental dengan nilai-nilai Islam, Tan Malaka menjalani masa mudanya dengan penghayatan agama yang mendalam.
Namun, perjalanan intelektualnya membawanya pada kritik tajam terhadap fungsi agama dalam masyarakat, khususnya dalam konteks sosial-politik Indonesia.
Kalimat kontroversialnya “Agama adalah candu yang membuat rakyat tertidur dalam kemiskinan” bukanlah serangan terhadap iman atau akidah seseorang.
Dalam bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan Malaka mengartikan “candu” sebagai metafora kritik terhadap bagaimana agama dipakai oleh penguasa dan oknum tertentu untuk membius rakyat atau jamaah agar menerima kondisi penindasan, manipulasi, dan korupsi.
Dengan kata lain, agama dijadikan alat untuk membuat rakyat bersikap pasrah dan ikhlas dalam menghadapi ketidakadilan, sehingga mereka tidak memberontak melawan ketimpangan sosial yang terjadi.
Menurut Tan Malaka, agama sering menjadi hiburan bagi orang miskin agar tidak memberontak, sementara kekayaan dan kemewahan dinikmati oleh segelintir orang.
Ia mengingatkan bahwa banyak sahabat Nabi dan Rasul yang kaya raya dan menggunakan hartanya untuk jalan agama, bukan semata-mata mengajarkan kemiskinan sebagai satu-satunya jalan kebenaran.
Doktrinasi yang mengajarkan bahwa hidup kaya dan mewah akan banyak dihisab kelak merupakan bagian dari doktrinasi agar umat tidak terlalu fokus pada urusan dunia.
Padahal, sebaik-baiknya hidup adalah keseimbangan antara mengejar akhirat dan mengelola dunia dengan bijak.
Kritik Tan Malaka ini sejatinya mirip kritik Karl Marx terhadap agama, yang juga menyebut agama sebagai “candu rakyat”.
Namun, Tan Malaka menempatkan kritik ini dalam konteks Indonesia yang memiliki kekhasan sosial dan budaya tersendiri.
Ia menawarkan solusi melalui konsep MADILOG—Materialisme, Dialektika, dan Logika—sebagai metode pembebasan pikiran dari dogma buta dan kebodohan.
Tan Malaka mengajak rakyat Indonesia untuk berani berpikir mandiri, tidak hanya pasrah pada takdir atau doktrin yang membelenggu.
Realita saat ini menunjukkan bagaimana agama masih sering disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Kampanye politikus yang memanfaatkan agama, kemiskinan yang dianggap sebagai ujian Tuhan tanpa upaya perbaikan, penipuan biro ibadah, korupsi di kementerian agama, fanatisme buta, hingga kultus individu yang mengaku cucu Nabi/Rasul demi kepentingan komersialisasi, semua jadi bukti bahwa agama bisa menjadi mesin uang dan alat kontrol sosial yang membatasi kemajuan umat.
Pada sisi lain, sebagaimana dikatakan oleh Mukti Ali, mantan Menteri Agama ke-11 Indonesia, dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan seni hidup menjadi indah, dan dengan agama hidup menjadi terarah.
Ini menunjukkan bahwa agama sesungguhnya dapat menjadi pemandu kehidupan yang seimbang dan membebaskan, bukan alat penindasan.
Melalui pemikiran Tan Malaka, kita diajak untuk melihat agama bukan sebagai candu yang membuat rakyat tertidur, melainkan sebagai sumber kekuatan yang harus dibebaskan dari manipulasi dan dogma buta.
Agama harus menjadi alat pembebasan dan pemberdayaan, bukan pengekangan dan penghambatan kemajuan rakyat.
Penulis: Danny Wibisono