KEDIRI – Siapa tak tahu soto Podjok. Kedai soto ayam di sudut Jalan Doho Kota Kediri ini sangat terkenal dan menjadi langganan para pesohor.
Bagi masyarakat khususnya pecinta kuliner Kediri, soto Podjok tak sekedar tempat makan. Soto Podjok adalah legenda yang bertahan sejak tahun 1926 atau 19 tahun sebelum Republik Indonesia merdeka.
Terbayang bagaimana noni Belanda datang mengendarai kereta kuda yang diparkir di Jalan Doho. Mengenakan gaun putih dan topi bundar, noni berkulit pucat itu duduk di bangku kayu sambil memesan soto.
“Ah, itu bayangan sampeyan sendiri saja,” kata perempuan paru baya berkacamata yang duduk di dekat meja saji. Dia adalah Rumiani, pemilik soto Podjok yang telaten melayani pertanyaan pelanggannya. Wajahnya selalu tersenyum saat melihat pengunjungnya sibuk memotret kedai makannya.
baca ini Cari Tahu Takwa Murah di Kediri ini Tempatnya
Rumiani jelas tak tahu bagaimana suasana pembeli soto tahun 1926. Dia adalah generasi ketiga yang mewarisi usaha itu secara turun temurun. Anaknya mengelola cabang soto Podjok di Citraland Surabaya, yang kelak akan menjadi generasi keempat soto Podjok.
Meski bertempat cukup lama di Kediri, soto Podjok ternyata bukan resep asli Kediri. Resep asalnya dari keluarga Rumiani di Yogyakarta. Ini menjelaskan kenapa kuah soto Podjok berbentuk bening tanpa santan. Berbeda dengan kuah soto Kediri yang kental dan gurih karena santan.
Soto ini diklaim lebih ‘aman’ bagi tubuh karena minim kandungan lemak jenuh dari santan. Meski tak berbahaya, kandungan kalori dalam santan yang mencapai 230 kalori per 100 gram berpotensi memicu obesitas jika disantap berlebihan.
Selain kuah, ciri lain yang kasat mata dari soto Podjok adalah ukuran mangkuknya yang besar. Mangkuk ini bahkan tak sebanding dengan porsi nasi di dalam soto yang nyempil di pinggir. Di atasnya berjajar suwiran ayam kampung, daun seledri, kecambah, dan bawang goreng.
baca ini Saking Enaknya Klepon Jadi Nama Jalan di Kediri
Berbeda dengan nasinya yang berporsi kecil, volume kuahnya justru melimpah. Tak heran jika etape terakhir saat menyantap menu soto Podjok adalah meminum kuah. Rasanya yang gurih dan encer tak membuat tenggorokan tercekat.
Hal lain yang membuat kedai ini vintage adalah properti yang digunakan. Deretan toples kaca besar dengan warna hijau tua mengingatkan akan kedai jaman dulu. Properti ini pas dengan bangunan kedai yang mempertahankan desain lama meski telah diperbarui di sana sini.
“Jadi nilai lebih soto ini adalah kenangannya. Sejak kecil saya diajak bapak makan di tempat ini. Sekarang saya bisa beli sendiri. Makan sekaligus bernostalgia,” tutur Kristiono Joni, warga Kelurahan Bandar yang menjadi perantauan di Malang.
Pria berusia 42 tahun ini mengakui jika soto Podjok memiliki wibawa tersendiri. Selain tua, banyak pesohor yang menjadi pelanggannya. Mulai pejabat hingga artis yang berkunjung di Kediri selalu memilih soto Podjok saat berkuliner. Dua tokoh yang paling populer adalah Presiden RI pertama Soekarno dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Tak heran meski harganya cukup mahal, yakni Rp 17.000 per porsi, kedai soto ini tak pernah kehilangan pelanggan. Padahal di tempat lain mereka bisa menyantap soto ayam kampung dengan harga Rp 7.000 per porsi.
Soto Podjok memang legenda. Dan legenda tak bisa dikonversi dengan uang. Berapapun Rumiani mematok harga, soto Podjok akan selalu diburu. (HTW)