Bacaini.id, KEDIRI – Kehidupan perkawinan priyayi Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ternyata begitu menyeramkan. Bagi mempelai yang datang dari kelas sosial berbeda, mereka selamanya tidak akan mendapat perlakuan setara.
Jangan pernah berharap datangnya situasi sakinah mawaddah dan warohmah (Tentram, saling berbagi kasih sayang, dan menerima kekurangan masing-masing) yang diagungkan dalam perkawinan.
Pramoedya Ananta Toer dalam novel Gadis Pantai menggambarkan betapa mengerikannya kehidupan rumah tangga priyayi Jawa saat itu. Ia menyebut: “Seganas-ganasnya laut dia lebih pemurah dari hati priyayi”.
Dalam menyusun ceritanya, Pram diketahui terinspirasi dari pahit getirnya perjalanan hidup yang dicecap neneknya. Mereka para priyayi bukan hanya kejam, tapi juga berbudi dangkal.
Dikatakannya: “Laut tetap kaya takkan kurang. Cuma hati dan budi manusia yang semakin dangkal dan miskin”.
Gubernur Timur Laut Jawa Nicolaus Engelhard (1801-1808) dalam catatannya menggambarkan kehidupan perkawinan priyayi anggota keluarga kerajaan Jawa Tengah selatan, begitu menyeramkan.
Situasi pahit banyak mendera para perempuan yang datang dari kelas sosial lebih rendah. Bukan hanya mereka yang berasal dari kaum kromo atau rakyat jelata, tapi juga para putri bupati pesisir utara.
“Keluarga-keluarga bupati pesisir utara sering mengeluh bahwa perkawinan dengan anggota keluarga kerajaan Jawa tengah selatan berarti mereka tak pernah bertemu dengan putri mereka. Karena dikurung di tempat tinggal khusus kerajaan (dalem) atau di keraton,” kata Nicolaus Engelhard seperti dikutip dari buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016).
Harta dan kedudukan sosial yang lebih tinggi selalu menjadi alasan para priyayi keraton Jawa untuk bersikap sesuka hati. Mereka merasa sudah menanggung semuanya.
Demi prestise, para priyayi seringkali menghabiskan ongkos atau biaya perkawinan dan pesta yang tidak kecil. Itu sebabnya dalam kehidupan rumah tangganya, para priyayi meletakkan pasangannya lebih rendah.
Wilayah Kabupaten di mana ayah mempelai perempuan berkuasa, juga dipaksa terus menerus menyerahkan hasil bumi kepada keraton. “Dan putri mereka (putri bupati pesisir utara) terpaksa menunjukkan hormat berlebihan kepada suami mereka yang berdarah biru”.
Tidak heran jika bayak kehidupan rumah tangga keluarga priyayi keraton Jawa berakhir secara tragis. Dalam catatan peneliti asing De Jonge dan Van Deventer 1888, menyebut terjadi sejumlah peristiwa putri bupati pesisir utara yang diperlakukan buruk itu, mati muda.
Nasib mengenaskan itu salah satunya menimpa dua putri Bupati Pati Raden Tumenggung Megatsari yang dinikahi Pangeran Buminoto, adik Pakubuwono IV (1788-1820).
Mengerikannya kehidupan rumah tangga priyayi keraton Jawa itu juga dibeberkan sumber Surakarta.
Disebutkan bagaimana Ratu Timur atau Ratu Kudus, putri Pakubuwono III (1749-1788) melarang putri Raden Adipati Panji Padmonegoro, bupati Kudus menjenguk ayahnya ketika sang ayah sakit parah. Peristiwa itu terjadi pada Februari 1811.
Dalam kisah Gadis Pantai, Pramoedya berulangkali menegaskan betapa mengerikannya kehidupan perkawinan priyayi Jawa.
“Aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengarkan tangisnya,” demikian dikutip dari kisah Gadis Pantai.
Penulis: Solichan Arif