Bacaini.ID, KEDIRI – Konten promosi wisata Candi Borobudur masih menjadi perbincangan publik gegara menyebut kata ‘umroh’. Tak banyak yang faham jika beberapa kata bukan hanya memiliki makna harfiah, tetapi makna teologis yang melekat pada agama tertentu.
Perlu difahami bahwa setiap agama memiliki istilah, simbol, dan tata ibadah yang merupakan bagian dari keyakinan pemeluknya. Istilah seperti umrah, haji, kafir, ghibah dalam Islam memiliki makna teologis dan ritual yang spesifik, dan tidak sepatutnya digunakan atau diperdebatkan dalam konteks agama lain.
Setiap istilah memiliki konteks teologis dan historis yang tidak serta merta dapat digunakan di luar kerangka ajaran agama itu sendiri. Penggunaan istilah-istilah tersebut secara sosial atau politis, terutama untuk menghakimi, dapat menimbulkan konflik dan distorsi pemahaman antar umat beragama.
Dalam kerukunan antaragama dan prinsip toleransi, istilah-istilah tersebut tidak dimaksudkan untuk dipakai atau dinilai dari luar tradisi keagamaannya. Penggunaan istilah-istilah ini juga tidak dimaksudkan untuk merendahkan, tetapi bersifat teologis-konseptual dalam kerangka masing-masing ajaran.
Dalam konteks pluralisme dan kehidupan bernegara, istilah keagamaan tidak seharusnya digunakan untuk menilai orang dari agama lain, karena tiap pemeluk memegang keyakinannya sendiri secara sah dan dilindungi hukum (misal dalam UUD 1945 dan prinsip Pancasila).
Berikut beberapa istilah tersebut dalam beberapa agama besar:
Agama Islam
- Kafir
Merujuk pada orang yang menolak atau tidak mempercayai ajaran Islam. Secara bahasa berarti “menutupi” (kebenaran). Dalam Al-Qur’an, istilah ini memiliki konteks teologis yang sangat spesifik, termasuk terhadap kaum musyrik dan ahli kitab yang menolak risalah Muhammad.
- Ahli Kitab
Menyebut kaum Yahudi dan Nasrani, bukan sebagai kafir secara umum, melainkan sebagai pemilik kitab suci terdahulu (Taurat dan Injil).
Agama Kristen (Nasrani)
- Domba Tersesat (Lost Sheep)
Istilah metaforis yang digunakan Yesus dalam Injil untuk menyebut orang yang menjauh dari ajaran Tuhan, bisa merujuk pada non-Kristen, atau umat yang lalai.
- Pagan / Heathen
Dalam sejarah gereja awal dan abad pertengahan, istilah ini digunakan untuk menyebut pemeluk kepercayaan non-Kristen (terutama penyembah berhala).
Agama Katolik
- Heretik (Heretic)
Istilah bagi orang yang mengaku Kristen tapi menyimpang dari doktrin resmi gereja.
- Schismatic
Mereka yang memisahkan diri dari otoritas Gereja Katolik (misalnya Ortodoks Timur setelah skisma besar 1054).
Agama Hindu
- Mleccha
Dalam kitab-kitab Weda dan literatur kuno Hindu, istilah ini digunakan untuk menyebut orang asing atau orang yang tidak mengikuti adat dan kepercayaan Weda.
- Nastika
Digunakan untuk menyebut mereka yang tidak percaya pada otoritas Veda (misalnya Buddhis, Jain, dan materialis/atheist).
Agama Buddha
- Tiracchāna
Dalam teks Pali, berarti “pandangan salah” atau “jalan menyimpang”. Kadang merujuk pada orang yang tidak mengikuti Jalan Tengah (Dhamma), tapi bukan istilah identitas sosial seperti kafir.
- Ariya / Anariya
“Ariya” berarti mulia (mereka yang memahami Dhamma), sedangkan “Anariya” berarti tidak mulia—kadang digunakan untuk merujuk pada mereka yang masih dalam ketidaktahuan (awijja).
Yahudi
- Goy / Goyim
Berarti “bangsa” atau “kaum” dalam bahasa Ibrani. Dalam konteks Alkitab, awalnya netral (misal: “Bangsa-bangsa”), tapi dalam konteks rabinik kemudian, digunakan untuk merujuk pada non-Yahudi.
- Gentile
Istilah dalam terjemahan Alkitab Inggris (bukan istilah asli Ibrani), merujuk pada semua orang di luar bangsa Israel.
Konghucu (Confucianism)
Konghucu sebagai sistem etika dan moral tidak menggunakan istilah teologis eksklusif seperti dalam agama wahyu. Fokusnya pada tatanan sosial dan hubungan antarmanusia (Li, Ren, Yi). Namun dalam praktik keagamaan Tionghoa, orang luar disebut dengan istilah seperti:
- Wai Ren (外人) – orang luar
- Fei Zi (非子) – bukan anak (bukan bagian dari keluarga/nasab atau ajaran)
Jainisme
- Ajnani
Merujuk pada mereka yang belum memiliki pengetahuan spiritual atau belum menerima prinsip ahimsa (anti-kekerasan) dan moksha.
Penulis: Danny Wibisono
Editor: Hari Tri Wasono