Bacaini.id, NGANJUK – Kirab Bedol Pusaka mengawali prosesi tradisi Jamasan Pusaka di Desa/Kecamatan Ngetos Kabupaten Nganjuk. Para sesepuh mengenakan pakaian adat jawa membawa serta 10 pusaka dalam kirab, Rabu, 10 Agustus 2022
Kirab dimulai sekitar pukul 08.00 WIB dari kediaman lurah pertama Desa Ngetos, Suwarno, yang hidup pada masa Mataram Islam. Menempuh jarak kurang lebih satu kilometer, kirab diiringi suara gamelan dan tarian mongde yang ditampilkan murid SD menuju Balai Desa Ngetos.
Keikutsertaan para pendekar dari sejumlah perguruan silat semakin menambah kemeriahan tradisi yang menjadi agenda rutin tahunan setiap bulan Suro. Sesampainya di Balai Desa, Kepala Desa, tokoh masyarakat dan juga para Empu sudah menunggu di lokasi jamasan pusaka.
Diawali dengan berdoa bersama dan sejumlah ritual, prosesi jamasan dilakukan dengan memandikan pusaka menggunakan air sekaligus peralatan yang sudah dipersiapkan.
“Air yang digunakan untuk jamasan kami ambil dari tujuh sumber mata air yang ada di Ngetos,” kata Sukarno, salah satu tokoh masyarakat, kepada Bacaini.id, Rabu, 10 Agustus 2022.
Satu persatu pusaka yang dibawa sesepuh desa diberikan kepada para Empu untuk dilakukan jamasan. Diantara 10 pusaka tersebut ada pusaka yang merupakan peninggalan Empu Punjul dan keturunannya, yakni Empu Josono atau Empu Kriyosono.
“Cerita dari sesepuh sebelum-sebelumnya, Empu Punjul dan keturunannya hidup pada masa Kerajaan Mataram Islam,” ujarnya.
Diceritakannya, Empu Punjul membuat pusaka di Gunung Punjul yang terletak di sebelah utara Gunung Wilis. Dalam membuat pusaka, Empu Punjol sering berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain di sekitar Gunung Wilis.
“Jejaknya ditemukan di Desa Kepel, Kecamatan Ngetos, pindah lagi ke Desa Swaru, Kecamatan Sawahan. Setelah itu bersama generasi berikutnya dia berpindah ke Ngetos dan Pace,” sebutnya.
Empu Punjul pada akhirnya menetap di wilayah Kadipaten Pace hingga akhir hayatnya. Kini makamnya berada di Dusun Kedungbajul, Desa Gemenggeng, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk.
Lebih lanjut, Sukarno menjelaskan bahwa Prosesi Jamasan ini dilakukan untuk menghormati para Empu yang pada zaman dahulu telah bersusah payah membuat pusaka. Fungsi pusaka sendiri tidak hanya sebagai senjata, tetapi juga untuk ageman atau aksesoris yang menunjukkan kewibawaan serta kepercayaan diri.
“Para Empu memilih besi yang bagus dan ada yoninya. Sulitnya membuat pusaka itu sangat luar biasa, butuh tirakat dan sesaji juga,” ungkapnya.
Sukarno menambahkan, warga diizinkan untuk menyerahkan pusaka pribadi mereka untuk dilakukan penjamasan oleh para Empu setelah jamasan pusaka peninggalan Empu Punjul dan Empu Josono selesai dilakukan. Tradisi Jamasan Pusaka ditutup dengan kenduri nasi kuning.
“Diharapkan tradisi ini bisa terus lestari sehingga mempererat tali silaturahmi antar warga dan menjadi pembelajaran kepada generasi muda,” pungkasnya.
Penulis: Asep Bahar
Editor: Novira