KEDIRI – Pandemi Covid-19 yang melumpuhkan kegiatan belajar di sekolah mulai menimbulkan persoalan. Dampaknya, guru dituding makan gaji buta dengan sistem pembelajaran online.
Sistem belajar secara daring atau online memang masih awam bagi masyarakat Jawa Timur. Kegiatan belajar di sekolah yang dilakukan secara tatap muka harus diganti gadget dengan alasan kesehatan.
baca ini Hari Guru Sedunia, Pengajar di Kediri Nyambi Parkir dan Tukang Ojek
Namun benarkah jika belajar online ini justru membuat guru malas-malasan?
Shinto Woelandari, guru SMP Negeri 3 Kota Kediri dengan tegas membantah. Menurut Shinto, aktivitasnya turut berubah saat diberlakukan pembelajaran daring. “Saya lebih sibuk membuat perencanaan pembelajaran yang bisa diterima pelajar dengan sistem daring,” katanya kepada Bacaini.id, Rabu 7 Oktober 2020.
Tak hanya siswa, para pengajar seperti Shinto juga berusaha keras mengubah cara mengajar melalui gadget. Hal ini, menurut dia, jauh lebih sulit dibandingkan pertemuan tatap muka yang bisa berinteraksi langsung. “Ada ikatan emosional dan penyesuaian karakter jika tatap muka,” katanya.
baca ini Belajar Online Aman di Rumah atau Sekolah
Mengajar daring lebih memerlukan persiapan matang dan terperinci. Sebagai guru Bahasa Inggris, Shinto mengalami kesulitan saat mengajarkannya secara daring. Sistem penilaian pun tak cukup dengan memberi tugas. “Karena daring, proses speaking dalam pembelajaran jadi susah dilakukan, penilaian jadi lebih sulit,” jelasnya.
Selain guru, siswa pun juga mengalami persoalan sama. Tidak semua siswa mampu menerima materi sekali jadi. Ada yang harus mengulang beberapa kali hingga faham, sebelum masuk materi baru. Shinto juga ketat menerapkan disiplin waktu pengumpulan tugas agar siswa tetap merasa memiliki rutinitas belajar meski di rumah.
Dengan kesibukan ini, Shinto membantah jika belajar daring lebih memudahkan guru. Faktanya, mereka tetap berjibaku dengan materi yang harus diselesaikan.
Di luar urusan teknis, Shinto masih memiliki tanggungjawab menjaga etika, adat istiadat, dan tingkah laku selama tak berinteraksi di sekolah.
Untuk mendukungnya, Shinto juga memaksimalkan komunikasi dengan orang tua, yang setiap hari berinteraksi dengan siswa. “Selain komunikasi dengan siswa, saya juga harus melakukan cross check dengan wali murid. Ribet sekali. Salah besar kalau dikatakan guru lebih banyak menganggur di rumah,” tegasnya. (Novira Kharisma)