Bacaini.ID, JEMBER – Udara asin khas pesisir selatan langsung terasa begitu kaki melangkah ke kawasan Puger, Kabupaten Jember. Dari halaman rumah-rumah nelayan, aroma ikan asin yang dijemur bercampur dengan angin laut, menandai denyut hidup masyarakat pesisir yang tak pernah benar-benar berhenti.
Di Kampung Mandaran, Puger Wetan, seorang perempuan tua tampak membalik ikan-ikan yang dijemur di atas anyaman bambu. Dialah Satira, 63 tahun, yang telah lebih dari empat puluh tahun hidup bersama ikan asin, menjadikannya bukan sekadar pekerjaan, tapi bagian dari perjalanan hidup.
Setiap pagi sebelum matahari tinggi, Satira sudah sibuk dengan tumpukan ikan segar hasil tangkapan nelayan. Kulitnya legam, tangannya kapalan, tapi senyumnya tetap ramah. “Kalau tidak saya kerjakan sendiri, siapa lagi? Sudah dari muda begini,” ucapnya pelan, sambil membalik ikan satu per satu.
Sejak 1980-an, Satira menekuni usaha pengasinan ikan. Ikan benggol, lenguru, hingga siyak-siyak ia olah menjadi produk yang gurih dan tahan lama. Namun prosesnya tak sesederhana yang tampak. “Begitu ikan datang, harus langsung diasinkan tiga jam. Tidak boleh ditunda, nanti baunya berubah,” jelasnya.
Usai diasinkan, ikan dijemur di bawah sinar matahari. Di sinilah ketelatenan Satira diuji. Cuaca panas adalah berkah, tapi langit mendung bisa berarti kerja ekstra. “Kalau panas, sehari kering. Tapi kalau mendung, bisa sampai tiga hari baru bisa dijual,” tuturnya sambil menatap langit yang mulai berawan.
Musim hujan menjadi masa paling berat. Ia harus berulang kali memindahkan ikan ke tempat teduh agar tidak rusak. “Capek, iya. Tapi kalau berhenti, ya tidak dapat apa-apa,” katanya lirih.
Dalam sekali produksi, Satira bisa menghasilkan dua kuintal ikan asin. Dulu, ia hanya mengandalkan tengkulak yang datang membeli. Kini, berkat bantuan anak-anak muda di kampungnya, hasil olahannya mulai dijual lewat media sosial. “Sekarang sudah ada yang pesan online. Ada juga yang kirim ke luar daerah,” ujarnya bangga.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Harga ikan segar sering melonjak saat cuaca buruk, sementara harga jual harus menyesuaikan pasar. “Kalau lagi mahal, bisa Rp60 ribu per kilo. Tapi kalau musim ikan, paling Rp15 ribu sampai Rp16 ribu,” ceritanya. Ia juga kerap mendatangkan ikan dari Banyuwangi, Madura, dan Probolinggo demi menjaga kualitas.
Bagi Satira, pekerjaan ini bukan sekadar sumber penghasilan. Ini adalah warisan hidup pesisir yang ingin ia jaga. Empat dekade ia habiskan berdampingan dengan panas matahari, asin garam, dan aroma laut yang melekat di kulit.
Ia tidak menyesali pilihannya. “Yang penting rezeki halal, bisa makan, bisa sekolah anak-anak,” katanya pelan, sebelum kembali menjemur harapan di bawah langit Puger yang mulai cerah.\
Penulis : Mega





