Malam belum turun saat Nike membersihkan rumah. Hujan yang turun sejak selepas Duhur tak kunjung reda. Warga Dusun Selupuro, Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk memilih berdiam di dalam rumah.
Usai memandikan Anisa, anak bungsunya yang berusia 1,5 tahun, Nike bersiap sholat Maghrib. Dengan penerangan seadanya, Nike bersama dua anaknya Anisa dan Salwa menuju kamar untuk sholat berjamaah. Sejak sore aliran listrik di permukiman itu putus.
Dipimpin Heri, suaminya, keluarga kecil ini sholat berjamaah tanpa firasat apapun. Mati lampu bukan hal baru di kampung yang terletak di lereng tebing ini. Apalagi jika kondisi hujan dalam waktu lama.
“Saat kami hampir selesai berdoa, ada suara gemuruh yang cukup kencang, seperti mesin mobil yang tak kuat menanjak,” tutur Nike kepada Bacaini.id yang ditemui di lokasi pengungsian SDN 1 Ngetos, Senin 15 Februari 2021.
baca ini Petaka di Hari Valentine 20 Orang Hilang di Nganjuk
Merasa tak terjadi apa-apa, Nike dan keluarganya terus berdoa. Suara gemuruh tanah longsor tenggelam oleh berisik air hujan yang menghantam atap rumahnya.
Keempatnya tersadar bahaya mengancam saat mendengar teriakan orang-orang di luar rumah. Tak berpikir panjang mereka berlari ke luar, menembus kegelapan bersama warga kampung yang menyelamatkan diri. Tak satupun benda yang mereka bawa selain pakaian yang melekat saat sholat.
Dalam kegelapan Nike sempat terjatuh. Kakinya tertimpa kayu rumah dan menghentikan pelariannya. Nike tertelungkup dengan kaki terjepit kayu. Ia tak bisa berdiri selain meneriakkan Allahu Akbar.
Matanya terpejam saat runtuhan tanah menimpa sebagian rumahnya. Dia selamat. Longsoran itu menerjang bagian lain rumahnya. Entah jika tak sempat berlari usai sholat Maghrib tadi.
Suami dan dua anaknya selamat. Demikian pula orang tuanya yang tinggal di rumah sama berhasil lolos dari maut. Namun ibunya Supinem harus merintih kesakitan lantaran potongan kayu menimpa kakinya.
Baca ini Alarm Rusak Warga Tak Mendengar Peringatan Longsor
“Semua keluarga saya selamat, ditolong tetangga lain yang selamat. Kami saling membantu menyelamatkan diri,” katanya.
Menurut Nike, tak ada suara alarm atau sirine peringatan sebelum longsor terjadi. Karena itu dia tidak merasa takut dan masih tenang di rumah saat hujan deras mengguyur. “Alarmnya tidak bunyi, saya pikir tidak ada apa-apa,” katanya.
Kini rumah Nike yang dibangun dengan jerih payah suaminya sebagai tukang batu rata dengan tanah. Tak ada bagian yang bisa ditempati meski sejengkal. Reruntuhan tanah masih menimbun rumahnya bersama bangunan lain di kampung itu.
Setidaknya Nike masih bersyukur seluruh anggota keluarganya selamat. Tak seperti Yatmi, perempuan 52 tahun yang kehilangan anak dan menantunya dalam musibah itu.
Dengan raut muka sedih, Yatmi menceritakan malam kelabu yang merenggut keluarganya. Pada saat itu, dia mendengar suara yang sangat keras, mirip angin puting beliung. Berbeda dengan Nike yang tetap tenang di rumah, Yatmi langsung menyelamatkan diri menuju kamar mandi. Saat kejadian, dia sendiri sendiri. Rumahnya lolos dari sergapan longsor, tetapi tidak dengan rumah anaknya. “Rumah anak saya tertimbun longsor karena berada di bawah tebing,” katanya.
Dia masih bersyukur karena kedua cucu kembarnya yang berusia enam tahun selamat dari musibah itu. Saat longsor menimbun orang tuanya, bocah itu sedang main di rumah saudaranya. Patmi kini harus menjadi nenek sekaligus orang tua bagi dua bocah malang itu.
Trauma Healing
Siapapun yang melihat tragedi kemanusiaan ini pasti tersentuh. Termasuk Iptu Nanik Yuliati, Kanit Binmas Polsek Prambon yang tergerak melipur lara anak-anak korban bencana.
Siang itu anggota Polres Nganjuk ini terlihat bermain bersama anak-anak di pengungsian SDN 1 Ngetos. Segala daya upaya dia kerahkan demi membuat anak-anak itu tersenyum. Ketakutan masih membayang saat ditarik berlarian keluar rumah oleh orang tuanya.
“Ketakutannya bermacam-macam, tadi pagi ada yang masih nangis kalau ingat kejadian kemarin sore,” ujar Nanik.
Mayoritas anak-anak ini menyaksikan secara langsung peristiwa yang merenggut nyawa puluhan orang di kampung mereka. Bahkan ada yang kehilangan orang tua seperti cucu Yatmi.
Untuk memulihkan trauma mereka, Nanik mengajak beberapa polisi wanita bermain di pengungsian. Sebanyak 40 anak berada di tempat itu sambil menunggu upaya pemerintah menyediakan tempat tinggal baru.
“Polisi dan beberapa komunitas akan terus memantau perkembangan psikis mereka. Semoga bisa berlanjut baik seperti ini,” pungkasnya.
Penulis: Karebet
Editor: HTW