Mulai tahun 1860 pemerintah membuat kebijakan Pak Opium (opiumpach), yakni kesepakatan monopoli atas penjualan opium. Negara memberikan “lisensi” monopoli perdagangan opium kepada mereka yang bermufakat, yakni sebagian besar adalah orang-orang Tionghoa.
Pemegang lisensi monopoli perdagangan candu ini biasa disebut pengepak. Mereka bekerja dalam jangka waktu tertentu dengan kewenangan berdasarkan kewilayahan, seperti kota, distrik atau propinsi.
Pak Opium menjadi lembaga kunci yang menghubungkan sistem Pegawai Tionghoa dengan Pangreh Praja dan Pegawai Kolonial. Sumber pendapatan dari pajak Pak Opium adalah yang terbesar dibanding sektor-sektor ekonomi lainnya.
“Di Pulau Jawa sepanjang abad ke-19, para saudagar Tionghoa membayar mahal hak istimewa ini. Mereka memasok pajak dalam jumlah besar kepada pemerintah Belanda di pulau tersebut (Jawa),” tulis Jamesh R Rush.
Orang-orang Jawa menjadi pasar terbesar opium yang diedarkan secara legal oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan sebagian besar orang-orang Tionghoa memegang lisensi monopoli perdagangan.
P.A Daum dalam catatan Ups and Downs Of life in the Indies (1892), menulis orang-orang Belanda justru kurang menyukai opium. Mereka lebih suka gin, minuman beralkohol dari hasil fermentasi dan proses distilasi.
Orang-orang Belanda menilai opium memiliki sifat buruk sekaligus mencerminkan perilaku kelas sosial bawah. “Yang diasosiasikan dengan orang-orang blasteran yang lemah dan orang-orang jahat yang menghilang di kampung-kampung dan daerah kumuh”.
Penulis: Solichan Arif