Bacaini.ID, KEDIRI – Perahu layar tradisional Pinisi asal Sulawesi merupakan karya seni leluhur yang sarat mitos dan cerita legenda.
Mahakarya ini lahir di Desa Ara, dan Lemo-lemo atau Tanah Lemo, tempat Pinisi modern pertama dibangun pada tahun 1906.
Namun jauh sebelum itu, sesuai legenda yang ada, sejarah kapal Pinisi terkait erat dengan kisah Sawerigading.
Siapa dia? Putra mahkota kerajaan Luwu, salah satu tokoh utama epos Bugis “Sureq Galigo” atau Ila Galigo yang ditulis oleh Colliq Pujie, perempuan bangsawan Bugis Melayu.
Legenda Pinisi
Legenda mengatakan, untuk menghindari hubungan inses dengan saudara kembarnya, Sawerigading melakukan perjalanan ke negeri Tiongkok.
Dengan menggunakan kapal yang terbuat dari pohon welengreng atau pohon dewata, Sawerigading bertolak menuju Tiongkok.
Ia bermaksud melamar putri Tiongkok bernama We Cudai. Setelah berpuluh tahun tinggal di Tiongkok dan bersumpah tidak akan pulang, Sawerigading akhirnya melanggar sumpahnya.
Ia tidak kuasa menolak keinginan istri dan anak cucunya yang penasaran melihat tanah kelahiran leluhur Sawerigading.
Dalam perjalanan pulang menuju Luwu, kapal Sawerigading dihantam badai dan pecah menjadi tiga bagian.
Legenda mengatakan, tiga bagian kapal Sawerigading terdampar di daerah Ara, Tanah Lemo dan Bira.
Di situlah kapal Sawerigading dirakit kembali dan kemudian diberi nama Kapal Pinisi.
Sejarah Kapal Pinisi
Dikutip dari Ocean Earth Travels, kapal Pinisi dikaitkan dengan para pelaut Sulawesi pada abad ke-19.
Mereka menciptakan perahu baru dengan menggabungkan berbagai ide model perahu dari belahan dunia lain.
Mereka menggunakan layar persegi panjang besar yang disebut tanjaq, yang dipadukan dengan layar depan dan belakang seperti kapal-kapal Eropa.
Ciri khas Pinisi mengacu pada konfigurasi tiang, layar, dan tali-temali yang presisi.
Pinisi tradisional mempunyai ciri konfigurasi dua tiang. Tiang besar di haluan dan tiang kecil di buritan sebagaimana struktur aslinya. Layar pinisi merupakan elemen penting.
Awalnya dilengkapi dengan tujuh hingga delapan layar yang berfungsi untuk menggerakkan angin.
Tidak seperti kebanyakan kapal Eropa, layar utama kapal Pinisi digulung pada tiang dan terbuka seperti halnya tirai.
Lambung kayu merupakan elemen fundamental dalam konstruksi pinisi.
Bagian perahu ini dirancang dengan tangan di mana ilmu pembuatan pinisi ini kemudian diturunkan dari generasi ke generasi.
Proses konstruksi kapal pinisi masih menggunakan tradisi lokal melalui upacara ritual yang dilakukan dari awal menebang pohon hingga peluncuran ke laut.
Pinisi bukan hanya kapal tradisional yang konsepnya telah mendunia, namun juga jadi simbol pengetahuan dan tradisi masyarakat yang adiluhung.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif