Bacaini.ID, JEMBER – Di tepian selatan Kabupaten Jember, ada sebuah desa yang menua bersama sejarah. Namanya Puger Kulon, sebuah wilayah pesisir yang menyimpan kisah panjang tentang asal-usul peradaban, percampuran budaya, hingga tradisi laut yang masih hidup hingga kini.
Desa ini disebut-sebut sebagai salah satu pemukiman tertua di pesisir selatan Jawa Timur, bahkan diyakini sudah ada sebelum Kabupaten Jember resmi berdiri.
Menurut Kepala Desa Puger Kulon, Nurhasan, sejarah keberadaan desa ini dapat ditelusuri dari arsip tua yang kini tersimpan di Arsip Nasional.
Dalam catatan tahun 1876, tercantum nama Bukit Bulan, yang dipercaya sebagai cikal bakal Puger. Bukti lain berupa dokumen Belanda bertahun 1911.
Dokumen itu menunjukkan bahwa wilayah ini sudah tercatat secara administratif sejak masa kolonial. Berdasarkan dua jejak sejarah itu, masyarakat sepakat menetapkan 1876 sebagai tahun berdirinya Desa Puger Kulon.
Kini, setiap tahun warga memperingati hari jadi desa dengan penuh kebanggaan. Tahun 2024 lalu, Puger Kulon genap berusia 149 tahun, dan dua tahun mendatang akan memasuki usia seabad setengah. Sebuah usia yang menandai betapa panjangnya perjalanan desa pesisir ini.
Petik Laut: Tradisi Syukur yang Tak Pernah Padam
Dari sekian warisan leluhur yang masih bertahan, tradisi Petik Laut menjadi yang paling sakral. Upacara adat ini adalah bentuk syukur atas rezeki laut sekaligus doa keselamatan bagi para nelayan.
Tradisi ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda dan terus dilaksanakan hingga kini dengan semangat kebersamaan. Menariknya, pada satu perayaan beberapa tahun lalu.
Petik Laut digelar bersamaan dengan ulang tahun ke-100 Desa Puger Bulan, menunjukkan eratnya hubungan antara sejarah dan budaya di kawasan ini.
Asal Usul Penduduk: Dari Mataram hingga Mandar
Masyarakat Puger Kulon tumbuh dari percampuran berbagai etnis. Gelombang pertama penduduk diyakini datang dari Mataram (Yogyakarta), disusul oleh suku Bugis dan Mandar dari Sulawesi—dua kelompok pelaut tangguh yang mahir berdagang dan berlayar.
Tak lama kemudian, pendatang dari Madura turut menetap dan membawa corak sosial-budaya tersendiri. Dari perpaduan itulah lahir masyarakat pesisir yang dikenal ramah, religius, dan pekerja keras.

Jejak Kolonial dan Warisan Sejarah
Masa penjajahan Belanda juga meninggalkan jejak yang tak sedikit. Dulu, di sisi timur pasar Puger berdiri stasiun kereta api, meski kini bangunannya sudah tiada. Beberapa dokumentasi foto masih tersimpan sebagai bukti sejarah.
Selain itu, terdapat tanah-tanah eks-PT KAI peninggalan Belanda yang kini tengah diinventarisasi. Pemerintah desa bersama warga berusaha menjaga prasasti dan situs kuno yang ditemukan di sekitar pantai. Sebagian artefak yang berhasil diselamatkan kini disimpan di Balai Desa Puger Kulon sebagai warisan budaya.
Dari “Kunir Besini” ke Puger
Dalam kisah tutur warga, dulu daerah ini dikenal sebagai “Kunir Besini” dari kata kunir (kunyit) yang melambangkan kesuburan. Konon, pada masa kejayaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada pernah mengunjungi kawasan ini ketika namanya masih disebut Gunir Besir.
Seiring perjalanan waktu dan perubahan bahasa, sebutan itu bertransformasi menjadi Buker, lalu dikenal sebagai Puger seperti sekarang.
Satu Akar Sejarah dengan Sadeng
Cerita rakyat juga menyebut, wilayah Sadeng yang dikenal sebagai lokasi Perang Sadeng di masa Majapahit, mencakup kawasan Puger di masa lalu. Seiring perubahan wilayah dan administrasi, daerah itu kemudian terbagi menjadi beberapa desa: Puger Wetan, Puger Kulon, Grenden, Kasian, dan Mojosari.
Itulah sebabnya, banyak warga meyakini bahwa Sadeng dan Puger memiliki akar sejarah yang sama: wilayah pesisir penting pada masa kerajaan-kerajaan Jawa.
Menjaga Warisan, Menulis Ulang Sejarah
Pemerintah Desa Puger Kulon kini tengah berupaya mendokumentasikan seluruh kisah dan peninggalan sejarah dalam bentuk tertulis. Bagi Nurhasan, melestarikan sejarah bukan hanya soal mengenang masa lalu, tapi juga membangun identitas dan kebanggaan generasi penerus.
“Sejarah adalah akar dari terbentuknya desa, kecamatan, hingga kabupaten. Kalau akarnya hilang, kita kehilangan jati diri,” ujarnya, pada Kamis (16/10/2025).
Penulis : Mega