Bacaini.ID, BLITAR – Pecah kongsi antara bupati dan wakil bupati nyaris selalu mewarnai perjalanan sejarah pemerintahan di Kabupaten Blitar Jawa Timur.
Terutama pada masa reformasi di mana pemilihan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditentukan langsung oleh suara rakyat.
Hubungan bupati dan wakil bupati sebagai orang nomor satu dan dua di Pemkab Blitar hampir selalu berakhir dengan “ketidakakuran” politik.
Sebut saja pada masa pemerintahan Bupati Blitar Herry Noegroho dan Wakil Bupati Arif Fuadi (2006-2011).
Kemesraan bupati dan wabup yang dalam Pilkada 2006 memakai akronim Hero Afi (Herry Noegroho-Arif Fuadi) itu, tiba-tiba redup di tengah jalan.
Sejumlah hal yang pada intinya terkait dengan komitmen dan pembagian kekuasaan, diketahui menjadi faktor perpecahan politik.
Perseteruan yang sebelumnya diucapkan dengan berbisik itu pada akhirnya terbuka blak-blakan. Pada Pilkada 2011 Herry Noegroho dan Arif Fuadi berhadap-hadapan.
Pasangan Herry Noegroho-Rijanto bertarung melawan pasangan Arif Fuadi-Heri Romadhon yang mengusung akronim Aroma.
Herry Noegroho-Rijanto (2011-2016) yang diusung PDIP menang mutlak atas Arif Fuadi-Heri Romadhon yang diusung koalisi PKB dan PAN.
Kemenangan Herry Noegroho sekaligus menamatkan karir politik Arif Fuadi yang saat itu menjabat Ketua DPC PKB Kabupaten Blitar.
Ketidakmesraan politik diketahui juga melanda pasangan Rijanto dan Marhaenis Urip Widodo yang menjadi bupati dan wakil bupati Blitar periode berikutnya (2016-2021).
Hanya saja perpecahan politik itu tidak sampai mengemuka seperti Herry Noegroho dan Arif Fuadi. Karenanya pada Pilkada tahun 2020, Rijanto-Marheinis kembali berpasangan.
Informasi yang dihimpun, kembali berpasangannya Rijanto dan Marheinis diibaratkan kawin paksa yang berimbas mesin politik bekerja tidak maksimal.
Hasilnya Rijanto-Marhaenis kalah telak oleh pasangan Rini Syarifah (Mak Rini)-Rahmat Santoso atau Makde Rahmat.
Seolah telah menjadi “kutukan politik”. Hubungan Bupati Rini Syarifah dan Wabup Rahmat Santoso juga tidak harmonis dan berakhir dengan pecah kongsi.
Pada Pilkada 2024, Mak Rini yang memutuskan maju kembali, memilih bergandengan dengan Abdul Ghoni, politisi PSI yang mendapat rekom dari Partai Demokrat.
Pasangan petahana Mak Rini-Abdul Ghoni yang diusung koalisi PKB, Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP dan PSI kalah mutlak oleh pasangan Rijanto-Beky Herdihansah yang diusung koalisi PDIP, PAN dan Nasdem.
Beky Herdihansah atau Kaji Beky yang berlatar belakang pengusaha diketahui jadi faktor penentu kemenangan pasangan Rijanto-Beky.
Selain memiliki elektabilitas tinggi, Kaji Beky juga membereskan sebagian besar kebutuhan logistik pemenangan.
Informasi yang dihimpun, logistik dari PDIP Kabupaten Blitar yang diketuai Rijanto hanya untuk mengcover kebutuhan saksi.
Tanpa menggandeng Haji Beky, Rijanto nyaris mustahil bisa mengalahkan Mak Rini.
Tidak heran, meski sebagai Bupati dan sekaligus Ketua DPC PDIP Kabupaten Blitar yang merupakan parpol terbesar, Rijanto informasinya menyerahkan kewenangan strategis kepada Wabup Beky.
Kaji Beky mendapat kewenangan menata birokrasi, termasuk menentukan pejabat Sekda yang kabarnya akan mengimpor dari luar daerah.
Mengacu perjalanan sejarah kekuasaan di Kabupaten Blitar, akankah “kutukan politik” pecah kongsi bupati dan wakil bupati akan berlanjut? Wallahualam bissawab.
Penulis: Solichan Arif