Bacaini.id, KEDIRI – Pernah kenal seseorang yang dalam memilih pasangan selalu mengedepankan status sosial?.
Atau jangan-jangan anda sendiri pelakunya? Memilih pasangan dengan petimbangan status sosial, kekayaan, pendidikan dan popularitas, bukan mengutamakan cinta dan perasaan.
Umumnya, orang-orang seperti tersebut di atas mendapat stigma sebagai makhluk materialistik. Benarkah begitu?.
Menjalin hubungan, utamanya lawan jenis dengan pertimbangan lebih tinggi status sosial dalam ilmu sosial disebut hipergami.
Praktik hipergami bukan hal baru. Sudah jamak dalam masyarakat di negara manapun sejak ribuan tahun lalu, status sosial calon pasangan adalah salah satu pertimbangan untuk melanjutkan hubungan dalam pernikahan.
Menurut penelitian, praktik hipergami sudah ada sejak 3000 tahun lalu. Praktik ini terutama terjadi dalam masyarakat feodal pada masa lampau atau masyarakat Hindu yang masih kental dengan strata kasta.
Pernikahan pada masa itu adalah tentang bagaimana bertahan hidup dan mencari perlindungan. Karenanya praktik hipergami lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan sebab pada masa lampau, perempuan adalah pihak yang lemah secara sosial ekonomi.
Perempuan saat itu tidak memiliki hak dalam pendidikan maupun kepemilikan properti. Sehingga hipergami adalah salah satu jalan untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Konsep pernikahan dengan berdasar pada cinta, baru dikenal sekitar 250 tahun terakhir. Jadi tidak heran jika praktik kuno hipergami sampai sekarang pun masih banyak ditemukan.

Perkembangan Hipergami
Tren hipergami kekinian ternyata sedang melanda kawasan Eropa loh Readers. Bagaimana ini bisa terjadi?
Jika praktik hipergami kuno lebih mengarah pada keuntungan finansial, hipergami pada era modern ini ternyata lebih dari sekedar itu. Secara umum, perempuan masa kini lebih mandiri dan memiliki kesetaraan dengan laki-laki.
Jadi ketika seseorang melakukan praktik hipergami pada masa kini, hal itu terjadi karena pergeseran nilai pernikahan itu sendiri.
Dengan memilih pasangan yang memiliki status, kekayaan, atau kekuasaan yang lebih tinggi, perempuan dapat memastikan bahwa mereka dan anak-anak mereka akan memiliki akses terhadap lebih banyak sumber daya, perlindungan, dan peluang.
Selain itu dengan memilih pasangan yang lebih tinggi status sosialnya, seseorang memiliki kesempatan lebih luas untuk terus berkembang dan saling memberi manfaat dalam hubungan.
Pada masa sekarang, ambisi, kekayaan, dan status tetap penting, namun sama pentingnya untuk menemukan pasangan yang melengkapi dan meningkatkan taraf kehidupan dengan cara yang berarti.

Dampak Positif dan Negatif Hipergami
Pasangan yang memiliki status ekonomi lebih tinggi tentu lebih mampu memberikan stabilitas keuangan dan standar hidup yang lebih baik.
Memilih pasangan dengan status sosial lebih tinggi juga dapat meningkatkan harga diri dan citra seseorang. Dampak negatifnya, pasangan yang memiliki status sosial lebih rendah biasanya tergantung pada pasangan dan hubungan jadi tidak seimbang.
Belum lagi tuduhan yang akan diberikan oleh masyarakat untuk mereka. Sebutan “panjat sosial”, “matre” pasti akan dialamatkan pada mereka yang memiliki status sosial lebih rendah dari pasangannya.
Pada kenyataannya, dampak praktik hipergami ini tergantung pada masing-masing individu yang melakukannya.
Di Tiongkok, praktik hipergami ini justru banyak ditawarkan oleh pihak perempuan dengan menawarkan status sosial mereka yang lebih tinggi kepada laki-laki. Terjadinya tren ini didorong oleh ketidakseimbangan gender dan meningkatnya biaya hidup.
Perempuan Tiongkok berlomba meningkatkan taraf hidupnya secara mandiri hingga meningkatkan value mereka untuk dipilih laki-laki sebagai pasangan hidup. Konsep pernikahan menjadi hubungan romantis yang memiliki manfaat secara sosial dan ekonomi bagi keduanya.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif