Kalangan yang melarang salam lintas agama bisa jadi masuk dalam kelompok legal eksklusif. Menafsirkan pesan agama hanya dari teks. Maka, salam dimaknai sebagai bagian dari ibadah, yang hanya boleh dilakukan dengan bahasa tertentu dan kepada kelompok tertentu. Ia bersifat sakral, tidak boleh ditafsirkan macam-macam.
Sebaliknya, kalangan substantif eksklusif akan membolehkan, bahkan pada taraf tertentu menganjurkan pengucapan salam berbagai agama. Kalangan ini meyakini, secara substantif, salam berbagai agama itu memiliki kesamaan, yakni mendoakan untuk kebaikan bagi semua orang. Bahasa dan cara pengucapannya saja yang berbeda antara satu dan lainnya.
Maka, tidak ada salahnya mendoakan orang lain, dengan menggunakan bahasa mereka sendiri, agar lebih mudah dipahami.
Jika menggunakan pendekatan kelompok yang pertama, terlihat ada pertentangan antara agama dan harmoni. Menjaga sakralitas agama terkesan harus dilakukan dengan mengesampingkan aspek harmoni.
Meskipun MUI mengaku tidak melarang upaya mewujudkan harmoni, tapi larangan salam berbagai agama, dapat dimaknai sebagai salah satu batu sandungan dalam mewujudkan harmoni. Salam yang hanya menggunakan bahasa tertentu, cara tertentu, untuk kelompok tertentu berdampak pada menguatnya identitas agama.
Upaya memperkuat identitas agama sendiri dengan sendirinya dapat mengarah pada sikap membenarkan diri sendiri (truth of claim) dan cenderung mengarah pada sikap eksklusif.
Sebaliknya, menggunakan pendekatan yang kedua, menunjukkan tidak ada pertentangan antara agama dan harmoni. Mewujudkan harmoni, termasuk antar agama yang berbeda, justru menjadi bagian dari ekspresi keagamaan itu sendiri.
Tujuan utama agama, pada dasarnya adalah mewujudkan keharmonian, keselarasan, keadilan, kesejahteraan, dan seterusnya. Bukannya menjaga dengan kaku aspek identitas, namun akhirnya mengorbankan harmoni, sebagai tujuan utama agama itu sendiri.
Penulis: Hari Tri Wasono