Bacaini.id, JOMBANG – Sempat terpuruk selama pandemi covid 19, perajin batik colet di Desa Jatipelem, Kecamatan Diwek, Jombang kembali bergeliat. Pemesanan datang dari dalam dan luar negeri.
Pasangan suami istri Sutrisno, 54 tahun, dan Sriyani, 55 tahun adalah salah satu yang bertahan menggeluti profesi ini. Perajin batik colet ini mengaku sudah melayani pesanan sejak satu bulan terakhir. “Sejak sebulan terakhir pesanan sudah banyak yang masuk,” ujar Sriyani kepada Bacaini.id, Sabtu 2 Oktober 2021.
Setiap hari, di samping rumahnya di Desa Jatipelem, Sriyani menggoreskan tinta di atas kain. Sebelumnya motif yang akan diwarna telah dipola menggunakan pensil. Aktivitas itu dilakukan bersama para pembatik lain yang bekerja di gerai milik Sriyani. Uniknya, hampir semua pembatik itu berusia lanjut.
Mata tua mereka tak lelah memadukan warna dengan guratan yang ada. Demikian pula tangan keriput yang lincah meliuk-liuk di atas kain mengikuti pola yang dibentuk. Siang itu, Sriyani menggambar motif daun.
Di sudut lain tampak perempuan memegang kain dan canting. Duduk di depan tungku perapian, tangannya bergerak naik turun mencelupkan canting ke dalam pewarna kain. Tak lupa dia meniup lubang kecil di belakang canting untuk memastikan alat pewarna itu tak buntu. Sekaligus mengurangi panas cairan yang bisa meleleh saat ditorehkan di atas kain.
Gerai ini memproduksi beragam batik, mulai batik tulis, batik colet, hingga batik printing. Seluruh batik memiliki segmen pelanggan berbeda. Termasuk harga yang beragam.
Dalam kondisi normal, omzet gerai ini bisa tembus Rp 40 juta dalam satu bulan. Namun selama pandemi, turun jauh hingga Rp 25 juta saja. “Saat ini berangsur-angsur normal,” kata Sriyani.
Meski pandemi belum reda, namun pesanan sudah mengalir melalui jejaring online. Sriyani mematok harga ratusan ribu untuk satu lembar kain, hingga Rp 2,5 juta. Batik dengan banderol mahal dibuat khusus souvenir dan oleh-oleh.
Menurut Sriyani, mahalnya harga tersebut karena proses pembuatannya manual dan butuh ketelitian. “Semuanya menggunakan tangan, dengan waktu pengerjaan hingga dua bulan untuk menghasilkan batik yang halus,” katanya.
Para pembeli bisa memilih motif yang dikehendaki. Mulai motif flora seperti daun kelapa, pohon nyamplung, dan jati glondong, dengan ciri khas gambar buah dan daun mangga. Buah dan daun mangga ini diambil dari nama desa Jati Pelem.
Sejak tahun 2016, batik Jombang ini sudah terbang ke Australia. Kemudian merambah Belanda, Amerika hingga Jepang.
Di tengah Peringatan Hari Batik Nasional 2 Oktober ini, Sriyani berharap lahir pembatik muda yang mewarisi tradisi itu. Sebab pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan ini kurang diminati kalangan muda.
Penulis: Syailendra
Editor: HTW
Tonton video: