Bacaini.ID, KEDIRI – Era 1980-an adalah masa ketika Indonesia berada dalam cengkeraman Orde Baru. Ruang ekspresi terbatas, sensor ketat, dan norma sosial yang konservatif membuat banyak anak muda merasa terasing.
Di tengah keterbatasan itu, geng menjadi ruang alternatif untuk mengekspresikan identitas, solidaritas, dan bahkan perlawanan.
Geng bukan sekadar kumpulan pembuat onar. Mereka adalah produk zaman, di mana anak-anak urban mencari tempat di tengah kota yang tumbuh cepat namun tak ramah bagi mereka.
Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga kota-kota seperti Kediri, geng bermunculan dengan nama-nama nyentrik: Gepeng, Gong 2000, Black Angel, hingga yang lebih lokal seperti Boy Horor atau Hellfiend.
Geng era 80-an sangat dipengaruhi oleh budaya pop global. Musik punk, rock, dan metal menjadi soundtrack kehidupan mereka.
Band seperti Sex Pistols, Metallica, dan Guns N’ Roses menginspirasi gaya hidup dan semangat mereka. Mulai meniru gaya berpakaian jaket kulit, celana ketat, dan rantai, hingga rambut mohawk.
Tak hanya itu. Mereka juga mencoretkan pesan dan identitas kelompok di tembok, tiang listrik, bahkan di badan truk. Nama geng menjadi identitas yang dibanggakan, sekaligus penanda wilayah kekuasaan.
Seperti aktivitas geng di luar negeri, tawuran antar kelompok juga terjadi. Bukan semata karena permusuhan, tapi sebagai bentuk eksistensi dan adu gengsi.
Namun tak semua geng identik dengan kekerasan. Beberapa justru menjadi komunitas seni jalanan, pelopor mural, atau bahkan embrio band-band indie yang kini melegenda.
Pemerintah Orde Baru memandang geng sebagai ancaman ketertiban. Operasi penertiban sering dilakukan, dan banyak geng dibubarkan secara paksa.
Namun ironisnya, dalam beberapa kasus, geng atau kelompok preman justru dimanfaatkan oleh elite politik sebagai alat kontrol sosial.
Penulis: Hari Tri Wasono





