Bacaini.ID, KEDIRI – Tak sekedar makanan khas yang lezat, getuk pisang menyimpan kisah pahit masyarakat Kediri atas penjajahan Jepang. Masa ketika krisis pangan mendera luar biasa hingga tak menyisakan apapun selain pisang.
Pada awal 1940-an, ketika penjajahan Jepang melanda Indonesia, masyarakat di berbagai daerah mengalami krisis pangan yang parah. Beras, sebagai makanan pokok menjadi barang langka.
Di tengah keterbatasan itu, warga Kediri tak tinggal diam. Mereka mencari alternatif pangan dari hasil bumi yang mudah dijangkau, salah satunya adalah pisang tanduk.
Dari dapur sederhana di kampung, warga berinovasi mengolah hasil kebun itu. Pisang dikukus, dihaluskan, lalu dicampur dengan tepung dan gula merah. Adonan ini kemudian dibungkus daun pisang dan dikukus kembali hingga padat.
Jadilah getuk pisang, makanan yang mengenyangkan, bergizi, dan bisa dinikmati seluruh keluarga.
“Getuk pisang itu simbol ketekunan dan kreativitas orang Kediri. Dulu dibuat karena terpaksa, sekarang jadi kebanggaan,” ujar Sujinem, 90 tahun, warga warga Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, yang piawai membuat getuk pisang secara tradisional.
Saat masih kanak-kanak di zaman penjajahan Jepang, orang tua dan tetangganya mengolah buah pisang menjadi getuk. Kala itu, rasa getuk pisang tidak sama persis dengan hasil olahan modern yang dijual di toko.
Seiring waktu, getuk pisang tak hanya bertahan, tapi juga berkembang. Kini, getuk pisang telah menjadi ikon kuliner Kediri, bersanding dengan tahu takwa dan stik tahu sebagai oleh-oleh wajib bagi wisatawan. Banyak pelaku UMKM mengemasnya dalam bentuk modern, tanpa menghilangkan cita rasa aslinya.
Di tengah gempuran makanan instan dan tren kuliner global, getuk pisang tetap eksis. Bahkan beberapa pelaku usaha mulai memasarkan produk ini ke luar daerah dan luar negeri. Sebuah bukti bahwa makanan rakyat bisa naik kelas tanpa kehilangan jati dirinya.
“Kalau kita bisa mengangkat cerita di balik makanan, maka kita tak hanya menjual rasa, tapi juga sejarah dan identitas,” tambah Sudjinem yang menghabiskan usia produktifnya dengan mengajar.
Getuk pisang bukan sekadar camilan. Ini adalah narasi tentang bagaimana masyarakat Kediri bertahan, berinovasi, dan merawat warisan leluhur. Dalam setiap gigitannya, terselip rasa manis masa lalu yang kini menjadi kebanggaan masa kini.
Penulis: Hari Tri Wasono





