Bacaini.ID, BLITAR – Jelang akhir kekuasaan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia, situasi politik nasional semakin keruh.
Ekonomi juga karut marut. Harga bahan kebutuhan pokok melambung tinggi, tidak terkendali. Di mana-mana rakyat mengantri bahan pokok.
Di saat sama suara desakan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) kian massif. Salah satu parpol pemenang Pemilu 1955 itu harus tamat.
Pada 16 Maret 1966 tiba-tiba muncul gerakan penculikan yang dimotori sejumlah pelajar dalam KAPPI dan mahasiswa yang tergabung Laskar Arif Rahman Hakim.
Sasarannya adalah para menteri di kabinet Dwikora. Termasuk para petinggi militer yang dianggap sebagai loyalis Presiden Soekarno.
Dalam waktu hampir bersamaan TNI Angkatan Darat (AD) menggelar show of force untuk memberi tekanan politik kepada Bung Karno.
Pasukan KOSTRAD itu terdiri dari Brigade Para III KOSTRAD Yon (batalyon) 314.
Juga Yon 315 Siliwangi, Yon Raiders Kujang 328, Yon Infantri 527 Brawijaya, Brigade Kavaleri KOSTRAD, Yon Artileri KOSTRAD dan Penerbad, dikerahkan.
“Pameran kekuatan itu bertujuan untuk membungkam Soekarno supaya tidak bereaksi terhadap pembubaran PKI,” demikian dikutip dari buku Naiknya Para Jenderal (2000).
15 Menteri Diringkus
Menteri-menteri di kabinet Presiden Soekarno yang masuk daftar untuk segera diringkus sebanyak 15 orang.
Nama Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Negeri Subandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh termasuk di dalamnya.
Yang pertama-tama diculik oleh para aktivis KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim adalah Ketua DPRGR I Gusti Gede Subamia dan Menteri Kehakiman Astra Winata.
Juga Menteri Negara yang juga Sekjen Front Nasional Sudibjo dan Menteri Koordinator Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Prijono.
Oei Tjoe Tat (Menteri Negara) dan Jusuf Muda Dalam (Menteri Bank Sentral dan Gubernur Bank Indonesia) sempat berhasil lolos.
“Mereka yang diculik kemudian diserahkan ke Markas KOSTRAD”.
Dalam waktu dua hari, 16-17 Maret 1966 massa KAMI dan KAPPI tidak henti-henti menggelar aksi demonstrasi.
Massa mendesak Soeharto untuk segera mempercepat langkah politik.
Pada 18 Maret 1966, Soeharto yang telah mengantongi Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) Surat Perintah No 5/1966.
Inti surat perintah adalah menangkap para menteri di pemerintahan Soekarno. Operasi penangkapan 15 menteri berjalan.
Semua menteri Bung Karno ditangkap dan dijebloskan penjara. Menteri Irigasi dan Pembangunan Masyarakat Desa Surachman berhasil lolos.
Surachman tewas dalam operasi Trisula ABRI di Blitar Selatan Jawa Timur tahun 1968.
Operasi penangkapan para pejabat loyalis Bung Karno merambah ke jajaran petinggi militer. Para perwira tinggi yang dinilai dekat dengan Bung Karno, diringkus.
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, pengganti Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Mursjid dan Brigadir Jenderal Suadi, ditangkap.
Mayjen Mursjid pernah dipilih Bung Karno menggantikan kedudukan Jenderal A Yani.
Sedangkan Brigjen Suadi adalah orang yang melapor kepada Bung Karno adanya pasukan RPKAD yang mengepung Istana Negara sebelum sidang Kabinet 11 Maret 1966 digelar.
Soeharto didukung penuh Jenderal A.H Nasution. Langkah yang diambil mendapat dukungan gerakan mahasiswa.
Di lapangan, para perwira tinggi AD terus menjaga komunikasi dan koordinasi dengan para pentolan aktivis mahasiswa.
Kepala Staf KOSTRAD Brigadir Jenderal Kemal Idris, Panglima Siliwangi Dharsono, Komandan RPKAD Sarwo Edhie.
Kemudian Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta A.J Witono dan Letnan Kolonel Urip Widodo dari Komando Daerah Militer Jakarta.
Soeharto menyempurnakan gerakan dengan mengangkat Jenderal A.H Nasution menjadi Ketua MPRS pada Juli 1966.
MPRS selanjutnya menerbitkan ketetapan No XIII/MPRS/1966, menugaskan Soeharto membentuk Kabinet Ampera sebagai pengganti Kabinet Dwikora Bung Karno.
Penulis: Solichan Arif