Bacaini.id, BLITAR – Kowe dalam bahasa Jawa Mataraman yang berarti kamu dipakai untuk menyebut orang lain dalam kesetaraan usia dan sosial. Panjenengan untuk memanggil mereka yang lebih tua atau secara strata sosial berada di atas.
Mengucapkan kata panjenengan atau sinuhun kepada bangsawan penguasa hampir selalu diikuti gestur badan sedikit membungkuk serta menjulurkan jempol, khususnya saat ingin menunjuk sesuatu.
Tidak elok, tidak pantas, tidak punya unggah-ungguh, tidak punya tata krama, atau ngelamak akan disematkan kepada mereka yang sengaja maupun tidak sengaja melanggarnya.
Intimidasi lebih jauh kepada para pelanggar biasanya berupa lontaran“kutukan” kualat (sial) lantaran penguasa dianggap memiliki idu geni (bertuah) dan sekaligus malati.
Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) telah menciptakan unggah ungguh (etika) bahasa Jawa ngoko-krama kepada rakyat yang sebelumnya bergaul dengan bahasa yang setara dan egaliter.
Mataram melakukan “operasi kebudayaan” dengan cara menerapkan politik bahasa kepada rakyatnya.Cucu Panembahan Senopati itu ingin kekuasaan yang diwarisi dari kakeknya terus berwibawa.
Aristokrat keraton atau priyayi harus tetap berada di atas dan sekaligus mapan. Kaum kromo atau rakyat jelata harus selalu tunduk kepada bangsawan, raja atau sultan, dan terus berposisi sebagai peladen, penyuguh, pelayan.
Pemakaian bahasa yang bertingkat-tingkat, yakni unggah-ungguh bahasa Jawa ngoko-kromo membuat kelas sosial menjadi berjarak satu sama lain. Penguasa Mataram ingin menunjukkan betapa unggulnya dinasti Mataram.
Kelak kolonial Belanda sengaja membiarkan tradisi feodalisme di Jawa tetap hidup untuk mempertahankan kekuasan.
“Alat untuk menciptakan jarak sosial ini antara lain dengan pengembangan tataran bahasa Jawa ngoko-krama,” demikian dikutip dari buku Sejarah Nusantara Yang Disembunyikan (2019).
Sultan Agung yang terlahir dengan nama Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang berkuasa selama 32 tahun. Sepanjang kekuasaanya ia tidak berhenti mengupayakan kejayaan Mataram Islam yang merupakan dinasti baru di Jawa pasca ambruknya Kerajaan Pajang dan Demak.
Saat Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir masih bertahta, Mataram hanyalah setingkat kabupaten bagian Pajang yang sebagian besar masih berupa kawasan hutan bernama Mentaok.
Ketika trah Mataram kemudian berhasil melenting dari kelas waisya ke ksatria dan menjadi dinasti penguasa baru, tidak heran kebesaran itu harus terus dijaga. Sultan Agung tidak hanya mempertahankan kekuasaan politik, tapi juga merambah ke wilayah kebudayaan.
Politik bahasa menjadi alat “penjajahan” kebudayaan kepada semua lawan-lawan Mataram maupun rakyatnya. Sebelum masa pemerintahan Sultan Agung, bahasa Jawa belum mengenal tata bahasa. Sebagian besar rakyat Jawa diketahui memakai bahasa sama dan setara.
Kaum priyayi dan kaum kromo dalam berinteraksi menggunakan bahasa yang sejajar. yakni bahasa Jawa kuno yang terbentuk dari percampuran bahasa pribumi dan bahasa sansekerta yang dalam perkembangannya dikenal sebagai bahasa Kawi.
Situasi etimologis masyarakat Jawa yang masih dipengaruhi tradisi Hindu peninggalan Kerajaan Majapahit. Lahirnya bahasa Jawa ngoko-krama yang berimbas munculnya jarak sosial atas bawah memudahkan Mataram melakukan konsolidasi kekuasaan.
Mataram menerapkan tata bahasa ngoko-krama sebagai norma pergaulan masyarakat. Pemberlakuan unggah-ungguh bahasa yang diiringi norma kesopanan mempertegas kedudukan kehormatan kelas penguasa.
Yang juga perlu diketahui, penerapan tata bahasa ngoko-krama sebagai alat politik kekuasaan tidak lepas dari kesadaran historis sosial pendiri dinasti Mataram bahwa mereka sebelumnya berasal dari kelas petani.
Dalam konsep sosial Hindu (kasta), keberhasilan mengubah Mataram yang semula wilayah setingkat kabupaten, lalu menjadi kerajaan baru adalah bentuk kesuksesan pendiri dinasti Mataram melakukan loncatan kelas sosial.
“Dinasti Mataram mengalami mobilitas dari Waisya ke Ksatria,” demikian seperti dikutip dari Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapan oleh raja Mataram (1987).
Seiring berlakunya unggah-ungguh bahasa Jawa ngoko-krama kepada rakyat, termasuk semua wilayah jajahan, sastra babad mengalami perkembangan cukup pesat. Cerita babad diketahui ditulis oleh para pujangga keraton Mataram.
Penulisan babad yang memakai bahasa Jawa halus bertujuan untuk branding dengan tujuan memuliakan raja sekaligus menghormati kelas atas (priyayi atau bangsawan). Sultan Agung diketahui memiliki peranan penting dalam pengembangan sastra babad.
Pada tahun 1626 Masehi ia memerintahkan para pujangga keraton melakukan penulisan babad. Perintah penulisan babad kembali muncul pada 1633 Masehi, yakni setelah gagal menaklukkan Batavia pada 1628 dan 1629.
Sultan Agung sangat sadar betapa keberadaan sastra babad dapat digunakan sebagai instrumen “operasi kebudayaan” atau alat politik kekuasaan. Tujuannya hanya satu, yakni melanggengkan kekuasaan dinasti Mataram dan semua keturunan serta pengikutnya.
Penulis: Solichan Arif