• Login
  • Register
Bacaini.id
Tuesday, October 7, 2025
  • BERANDA
  • BACA
  • SOSOK
  • EKONOMI
  • BACAGAYA
  • INTERNASIONAL
  • OPINI
  • TEKNO & SAINS
  • REKAM JEJAK
  • PLURAL
  • HISTORIA
  • INFORIAL
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BACA
  • SOSOK
  • EKONOMI
  • BACAGAYA
  • INTERNASIONAL
  • OPINI
  • TEKNO & SAINS
  • REKAM JEJAK
  • PLURAL
  • HISTORIA
  • INFORIAL
No Result
View All Result
Bacaini.id

Trenggalek Melawan, Menolak Tambang Demi Masa Depan

ditulis oleh Redaksi
20/08/2025
Durasi baca: 14 menit
558 42
2
Trenggalek Melawan, Menolak Tambang Demi Masa Depan

Aksi aktivis Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) menolak eksplorasi tambang. Foto: Dok. ART

Desa Dukuh adalah contoh nyata perlawanan terhadap industri ekstraktif. Perlawanan terhadap aktivitas tambang dilakukan jauh sebelum pemerintah daerah berada di barisan warga Desa Dukuh.

Desa Dukuh berada di kaki Gunung Lanceng dengan ketinggian antara 250 – 750 meter di atas permukaan laut. Desa ini nyaris terpisah dari kawasan Trenggalek karena wilayah hutan yang luas. 

Menurut data topografi di laman resmi Pemerintah Kabupaten Trenggalek, Desa Dukuh merupakan kawasan tertinggi dari 152 desa yang ada di kabupaten ini. Desa ini berbatasan dengan Desa Pakel di sebelah Utara, Desa Karangrejo di sebelah Barat, Desa Sawahan di sebelah Selatan, dan Desa Slawe di sebelah Timur. 

Dari 1.170,99 hektare luas wilayah Desa Dukuh, sebagian besar merupakan kawasan hutan negara yang mencapai 833,09 hektare. Area pekarangan dan pemukiman hanya seluas 317,99 hektare. Sehingga praktis desa ini dikelilingi kawasan hutan dengan mayoritas penduduk bekerja di sektor agraris. 

Perjalanan menuju Desa Dukuh harus melalui kelokan dan tanjakan yang curam. Jalan desa yang beraspal tak banyak membantu pengendara mobil lantaran lebar jalan yang tak mampu menampung dua kendaraan saat berpapasan.

Upaya bertemu Kepala Desa Dukuh Mulyani pada Senin, 23 Juni 2025, juga tak gampang. Meski sudah sepakat bertemu di kantor desa melalui telepon, sosok kepala desa yang menjabat sejak Mei 2019 ini tidak tampak. Perangkat desa dan sejumlah warga yang berada di kantor desa turut melempar pandangan tajam saat melihat kehadiran orang tak dikenal di kampung mereka. 

Basa-basi seorang perangkat desa yang mempersilahkan duduk di dalam kantor desa langsung terhenti ketika mendengar kedatangan saya untuk mencari informasi soal tambang. Beberapa mata memandang penuh selidik. 

Beruntung situasi canggung itu segera berakhir ketika Mulyani menelepon. Ia meminta saya meninggalkan kantor desa dan melanjutkan perjalanan ke atas. “Saya tunggu di warung kopi simpang lima arah ke hutan,” katanya singkat.

Perjalanan menuju lokasi yang dimaksud mempertajam gambaran tentang Desa Dukuh. Sebuah desa yang bisa dikategorikan terisolir, jauh dari keberadaan toko modern dan fasilitas kesehatan berskala daerah. 

Panggilan telepon kembali berbunyi ketika kendaraan yang saya sewa berhenti di tepi simpang lima. Seorang pria melambaikan tangan dari dalam warung. Sudah tentu itu adalah Mulyani. 

Usai memesan kopi, saya mengajak Mulyani duduk di teras warung. Selain melihat pemandangan desa yang asri, duduk di teras yang dekat dengan jalan memberi rasa ‘aman’ di tengah situasi yang tidak saya kenali. 

“Maaf lho mas, njenengan saya ajak ke sini. Saya tidak enak kalau menerima orang asing di kantor desa, apalagi membawa mobil. Takut ada yang menyangka saya menerima tamu dari SMN,” kata Mulyani membuka percakapan. 

SMN yang dimaksud adalah PT Sumber Mineral Nusantara, sebuah perusahaan tambang yang kehadirannya ditolak warga Desa Dukuh. Perusahaan yang terafiliasi dengan Far East Gold, perusahaan tambang asal Australia ini memiliki izin usaha pertambangan (IUP) selama 20 tahun dengan konsesi lahan seluas 12.813 hektare di sembilan kecamatan Kabupaten Trenggalek. Sembilan kecamatan itu meliputi Kecamatan Watulimo, Dongko, Suruh, Pule, Munjungan, Kampak, Trenggalek, Gandusari dan Pogalan.

Seluruh warga Trenggalek menolak kehadiran SMN. Namun, intensi perlawanan paling kuat berasal dari Desa Dukuh. Mulyani adalah salah satu penggerak massa yang menolak tambang di desanya. Atas perjuangannya itu warga bersepakat mengangkat Mulyani sebagai kepala desa. 

Karena kepercayaan itulah Mulyani kuat menjaga integritas termasuk tidak menerima kehadiran orang asing yang tidak diketahui tujuannya. “Kemarin ada yang mengaku mahasiswa melakukan penelitian di sini, namun warga meminta pergi. Termasuk yang datang untuk membuat konten tentang tambang, saya tidak tahu itu wartawan atau bukan,” kata Mulyani. 

Kecurigaan warga bukan tanpa alasan. Mereka memiliki pengalaman pahit saat SMN melakukan penelitian pada 2013. Saat itu sebuah perusahaan bernama PAMA masuk ke Desa Dukuh dengan dalih untuk meneliti kandungan tanah di desa mereka. Proyek itu melibatkan banyak warga setempat sebagai pekerja kasar, mulai tukang angkut barang, memasang pipa, hingga melakukan pengeboran. Upahnya cukup besar. 

Tugas mereka adalah membantu melakukan pengeboran di empat titik, dengan kedalaman 100 meter dan ke samping 500 meter. Tujuannya untuk mengetahui kandungan dalam tanah yang bisa ditambang. 

Suasana sore di Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Trenggalek yang tenang. Foto: Hari Tri Wasono

Tapi itikad baik warga untuk membantu proyek itu disalahgunakan. Pengeboran yang dilakukan jauh melebihi apa yang disampaikan yakni satu hingga dua kilometer ke dalam dan ke samping. Akibatnya, titik pengeboran yang berada di kawasan hutan menembus hingga ke permukiman.

Warga mulai cemas. Mereka khawatir pengeboran itu akan merusak rumah mereka dan menghancurkan tanaman. Apalagi sempat terjadi insiden dimana salah satu titik pengeboran mengeluarkan air yang nyaris tidak bisa dibendung. “Padahal air menjadi kebutuhan utama masyarakat dan pertanian,” kata Mulyani. 

Sejak leluhur mereka, Desa Dukuh dikenal sebagai penghasil manggis, durian, dan salak (madusa). Varietas buah itu berserak di seluruh desa dan areal hutan yang menjadi sumber utama pendapatan warga terutama durian. Salah satu jenis yang paling populer dan sempat dipromosikan oleh Presiden Joko Widodo adalah durian Ripto. Ini adalah produk durian unggulan Kabupaten Trenggalek yang menjadi ikon sepanjang masa. 

“Ini namanya Durian Ripto, rasanya manis. Manisnya itu pas dan tidak menyebabkan eneg,” kata Jokowi saat mencicipi durian Ripto dalam kunjungannya ke Trenggalek bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat Basuki Hadimuljono serta Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Selasa, 30 November 2021.

Durian Ripto adalah varietas unggul yang tumbuh subur di kawasan hutan Kali Kuning, Desa Dukuh. Nama Ripto diambil dari nama Suripto, pengelola pohon durian yang diwariskan secara turun-temurun. Suripto merupakan warga Desa Dukuh yang lahir pada 1942 dan meninggal dunia pada 16 Januari 2018.

Menurut informasi warga, pohon induk Durian Ripto yang saat ini telah berumur lebih dari 100 tahun masih berdiri kokoh. Pohon tersebut memiliki diameter lebih satu meter dan tumbuh berdampingan dengan pohon durian lainnya di tengah hutan.

Tekstur daging durian Ripto tidak lembek, namun tetap halus dan tanpa serat. Berbeda dengan daging durian lainnya, warnanya tidak terlalu kuning. Rasa manis pada dagingnya juga pas, saat dimakan tidak membuat eneg. Keunggulan lain durian Ripto adalah ukuran daging buahnya yang tebal dengan biji relatif kecil. Hal ini yang membuat durian Ripto banyak diburu di pasaran. 

Di kalangan pecinta durian, varietas Ripto sudah terkenal sejak memenangkan kontes durian tingkat nasional yang diselenggarakan Dinas Pertanian Trenggalek pada 2004. Kesuksesan itu sempat membawa Suripto bertemu langsung dengan Presiden Megawati Sukarnoputri, serta mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Pertanian atas produknya. 

Warga Desa Dukuh sampai kewalahan memenuhi permintaan durian Ripto dari pedagang. Ini lantaran pesanan bukan hanya datang dari sekitar Trenggalek melainkan juga dari berbagai pelosok daerah di Indonesia. 

Untuk mendongkrak produktivitasnya, masyarakat mulai mengembangkan varietas durian Ripto dengan jenis lain melalui sistem sambung atau stek. Batang tanaman durian Ripto disambung dengan batang durian non-unggulan untuk menghasilkan varietas baru yang tak kalah lezat dengan induknya.  

Pohon tersebut tumbuh subur di dalam kawasan hutan, bersanding dengan jenis pohon durian lainnya dan menjadi tulang punggung masyarakat Desa Dukuh secara turun temurun. Komoditas durian menjadi produksi hasil hutan nonkayu paling besar di Trenggalek, yang seluruhnya berasal dari Kecamatan Watulimo. Produksi durian dari Watulimo pada 2024 tercatat mencapai 4,65 ton. 

Kekayaan tanaman milik warga desa itu nyaris rusak akibat aktivitas pengeboran tambang. Bahkan lokasi bekas pengeboran juga dibiarkan terbengkalai. Demikian pula limbah pengeboran yang harusnya ditampung secara khusus dibiarkan begitu saja hingga meresap ke lahan pertanian. 

Dampaknya, tanaman warga porak poranda setelah memburuk di bagian akar. “Hampir setengah hektare tanaman di sekitar pengeboran rongkat (mati) semua,” terang Mulyani. 

Upaya warga untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan direspon negatif. PAMA beralasan kerusakan tanaman itu adalah bencana. 

Kemarahan memuncak ketika rumah warga rusak akibat pengeboran yang terlalu melebar. Pemilik rumah terpaksa pindah karena kediamannya tak bisa lagi ditempati. Akhirnya, tanpa diminta, warga yang bekerja di proyek itu ramai-ramai mengundurkan diri. Mereka tidak rela jika tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan menjadi rusak akibat penambangan yang belum diketahui hasilnya. “Apalagi kami melihat berita di banyak tempat di luar Jawa tentang potensi kerusakan alam akibat pertambangan,” tambah Mulyani. 

Sikap itu berhasil menghentikan aktivitas pengeboran yang dilakukan PAMA. Hingga pada 2017, sebuah proyek penelitian tambang kembali masuk ke Desa Dukuh. Kali ini dengan nama perusahaan lain, yang belakangan diketahui adalah SMN. Kedatangan mereka didampingi pegawai Pemerintah Kabupaten Trenggalek dan aparat kepolisian. 

Warga bulat menolak. Terlebih Mulyani sempat melihat peta lokasi tambang yang memasukkan hampir seluruh wilayah Desa Dukuh sebagai obyek utama. 

Konsolidasi dibangun. Warga Desa Dukuh bersepakat melawan semua bentuk kegiatan tambang di desa mereka. Mereka juga berunjuk rasa hingga ke tingkat DPRD Trenggalek. 

Bagi warga Desa Dukuh yang berpenghasilan pas-pasan dan tinggal di hutan, berunjuk rasa ke kantor DPRD Trenggalek yang jaraknya puluhan kilometer di tengah kota adalah perjuangan besar. Apalagi polisi sempat mengancam akan menindak mereka jika membawa truk ke sana.

Dengan biaya sendiri hasil iuran dari rumah ke rumah, mereka menyewa puluhan kendaraan mini bus jenis ELF untuk berunjuk rasa ke kantor DPRD. Setiap orang yang berpapasan di jalan Desa Dukuh menyawerkan uang semampunya untuk membiayai aksi itu. “Gerakan kami juga didukung oleh Aliansi Rakyat Trenggalek yang bersepakat menolak tambang di seluruh wilayah Trenggalek,” kata Mulyani. 

Aksi unjuk rasa ini berlangsung sepanjang periode 2013 hingga 2023. Berbagai upaya mediasi yang mempertemukan SMN dengan warga tak pernah berhasil.

Salah satu penolakan yang paling diingat Mulyani adalah ketika perwakilan SMN mendatangi kantor Desa Dukuh bersama Bupati Trenggalek Muhamad Nur Arifin yang kala itu menjabat Wakil Bupati Trenggalek. Saat itu kantor desa sudah dipenuhi berbagai makanan dan minuman untuk berbuka puasa bersama. “Sampai adzan Maghrib tiba, warga pulang tanpa ada satupun yang menyentuh makanan itu,” kenang Mulyani. 

Perlawanan dari rumah Hengky 

Selain Mulyani, salah seorang warga yang menjadi penggerak perlawanan adalah Henky Sunardi. Pria berusia 50 tahun ini adalah petani yang memiliki ratusan pohon durian. Sama seperti warga lainnya, pohon durian itu merupakan peninggalan orang tua dan kakek mereka. 

Hengky (kiri) dan Mulyani berdiri di samping pohon durian raksasa yang menjadi komoditas utama Desa Dukuh. Foto: Hari Tri Wasono

Di depan halaman rumah Hengky berdiri satu batang pohon durian yang berusia lebih dari 200 tahun. Lebar batangnya mencapai empat meter. Sejak Hengky kecil hingga kini memiliki cucu, pohon itu terus berbuah. “Satu kali musim bisa menghasilkan lima puluh juta,” katanya. 

Ia mengatakan kehidupan warga dengan pohon durian sudah menyatu. Mereka saling merawat dan menghidupi sehingga warga melawan ketika muncul upaya penambangan yang mengancam tanamannya. 

Pohon durian raksasa itu juga menjadi saksi perlawanan mereka. Di halaman rumah Hengky, ratusan warga desa berkumpul untuk menolak tambang. Ini Penolakan muncul setelah beredar kabar jika perwakilan SMN akan berdialog dengan warga. “Entah mengapa setelah melihat warga kompak di depan rumah saya, perwakilan SMN tidak jadi datang,” terang Hengky. 

Melihat kegigihan warga, Pemerintah Kabupaten Trenggalek akhirnya berubah sikap. Jika sebelumnya ikut mendampingi perusahaan untuk berdialog, kini berada di barisan masyarakat. “Ada atau tidak dukungan pemerintah, warga Desa Dukuh akan terus melawan,” tegas Hengky.

Tambang Masih Mengancam

Salah satu kelompok penekan (pressure group) dalam penolakan tambang adalah Aliansi Rakyat Trenggalek, kelompok yang terdiri dari 28 organisasi lokal dan nasional, termasuk Gerakan Pemuda Anshor dan Pemuda Muhammadiyah. Salah satu penggagasnya adalah Trigus Dodik Susilo. 

Trigus adalah pemuda kelahiran Trenggalek yang sempat merantau ke luar Jawa, dan pernah bekerja di perusahaan tambang. Di sana Trigus melihat kehidupan perekonomian warga di sekitar tambang yang tidak membaik, dengan dampak lingkungan yang parah. “Saya melihat sendiri bagaimana dampak tambang pada masyarakat,” tuturnya.

Karena itu ketika pulang ke kampung halaman dan mendapati adanya perusahaan tambang yang hendak masuk, ia melawan. Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) awalnya adalah forum komunikasi yang dibuat untuk mengadvokasi nelayan tambak udang di kawasan pesisir. Setelah muncul pergolakan warga yang menolak tambang, ART bergabung menjadi kelompok penekan yang sangat diperhitungan di Trenggalek. 

Menurut Trigus, penolakan tambang di Trenggalek merupakan murni gerakan masyarakat. Bahkan di awal masuknya PT SMN, Bupati Trenggalek Emil Elestianto Dardak yang kini menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur ikut membentangkan karpet merah untuk mereka. 

“Emil dan Ipin (Mohamad Nur Arifin) itu dulu sales-nya tambang. Emil mengurusin desa yang pro (tambang), Ipin yang belum pro. Bahkan para kepala desa diajak ke Banyuwangi untuk melihat bagaimana tambang Tumpang Pitu berjalan,” kata Trigus.

Namun bujukan itu tak mengubah sedikitpun sikap mereka untuk menolak tambang. Bahkan pada akhirnya gerakan ART makin kuat dengan bergabungnya 28 organisasi massa dan lingkungan di dalamnya. Hingga pada akhirnya Ipin yang kala itu menjabat Pjs. Bupati Trenggalek sepakat untuk menolak tambang bersama masyarakat. 

Trigus mengatakan ada alasan fundamental untuk menolak tambang. Alasan utama adalah keberadaan kars atau batuan berongga yang terbentuk dari batu gamping, yang dapat menjadi tempat penyimpanan air tanah dan sumber mata air. Hasil kajian bersama organisasi lingkungan, ketersediaan kars harus ada minimal 40 persen. Kars ini berada di sembilan dari 14 kecamatan yang masuk lokasi eksplorasi. “Sekali kars dihabisi, sumber mata air di Trenggalek habis,” kata Trigus. 

Aktivis Aliansi Rakyat Trenggalek, Trigus Dodik Susilo menunjukkan peta wilayah Trenggalek. Foto: Hari Tri Wasono

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pernah membuat riset adanya jutaan kubik air per hari yang keluar dari mata air dan dimanfaatkan untuk pertanian dan konsumsi masyarakat Trenggalek. 

Bahaya lain eksplorasi adalah bencana alam, dimana Kabupaten Trenggalek memiliki banyak kawasan dengan karakter tanah gerak. Bahkan tanpa adanya kegiatan tambang pun, bencana banjir dan longsor menjadi langganan tiap tahun. “Sehingga valuasi ekonomi dari kegiatan tambang ini lebih kecil dibanding pertanian dan perhutanan warga,” kata Trigus.

Dari sisi keberlangsungannya juga lebih panjang pertanian. Aktivitas tambang akan selesai pada saat tidak ada lagi yang bisa dikeruk. Demikian pula orang-orang yang bekerja di sana.

Trigus bersyukur, saat ini sikap menolak tambang sudah menjadi kesadaran kolektif para warga. Menurutnya, kesadaran itu hanya membutukan perlindungan hukum yang kuat untuk menjaga sikap tersebut. Sebab, peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Trenggalek yang menjadi dasar pembangunan wilayah di Trenggalek belum ada. 

Menurutnya, Raperda RTRW Kabupaten Trenggalek yang diajukan ke pemerintah pusat masih digantung dengan alasan tidak jelas. “Padahal perda itu yang akan menggaransi sikap pemerintah daerah untuk menjaga masuknya tambang. Siapa yang menjamin setelah Ipin turun dari bupati akan tetap dilanjutkan oleh bupati berikutnya,” kata Trigus.

Hal lain yang dikritisi oleh ART adalah penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Pendek Daerah (RPJPD) Tahun 2025–2045, yang secara eksplisit mencantumkan Persentase Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dalam program peningkatan kualitas lingkungan. Menurut Trigus, klausul tersebut justru melebar dan tidak spesifik dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).   

Komitmen pemerintah daerah untuk menggenjot sektor pertanian, kehutanan, dan pariwisata sebagai pengganti hasil tambang juga masih dipertanyakan. Sebab potensi tersebut muncul dari masyarakat secara kultural tanpa campur tangan pemerintah. “Durian dan desa wisata itu adalah upaya masyarakat sendiri,” katanya. 

Meski belakangan, Pemerintah Kabupaten Trenggalek akhirnya ikut dalam arus besar penolakan tambang. Sikap ini terpublikasikan di era kepemimpinan Muhamad Nur Arifin, yang menegaskan akan berdiri bersama warga Trenggalek melawan eksplorasi SMN.

SMN mengajukan izin eksplorasi pada 2005. Proses pengajuannya diklaim telah sesuai ketentuan UU Nomor  11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Perusahaan ini akhirnya mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 12.813,41 hektare di Trenggalek dengan jangka waktu 10 tahun, mulai tahun 2019 hingga 2029. Hal itu sesuai Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor P2T/57/15.02/VI/2019 tanggal 24 Juni 2019.

Merujuk data laporan studi kelayakan tambang yang termuat dalam dokumen lingkungan AMDAL SMN (Ijin Lingkungan Nomor P2T/34/17.05/01/IX/2018 tanggal 28 September 2018), estimasi bijih emas di Trenggalek dikelompokan menjadi dua area prospek, yaitu prospek bagian utara dan prospek bagian selatan. 

Prospek bagian utara terdiri dari Dalangturu, Suruh, Gragah, Jombok, Salak, Jati, dan Kojan. Sedangkan prospek bagian selatan terdiri dari Sentul dan Buluroto. “Merujuk dokumen AMDAL SMN, prospek emas terbesar di Sentul dan Buluroto, yakni Desa Karangrejo dan Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kampak,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Trenggalek Ratna Sulistyowati.  

Menurut dokumen itu, emas dan perak yang ditemukan di tiga lokasi tambang yakni Sentul Barat, Sentul Timur, dan  Buluroto Selatan. Total ore yang mengandung emas diperkirakan sekitar 3,7 juta ton sedangkan kandungan emas total (Au Equ) sekitar 137.119 ons.

Target sumber daya untuk pengambilan cadangan emas, perak, dan tembaga di delapan lokasi selama empat tahun mencapai 8,6 juta ton. Dari target itu, yang benar-benar bisa ditambang (ditaksir bisa diambil secara teknis dan ekonomis) sebanyak 7,3 juta ton. Sehingga total emas yang diperkirakan bisa didapat dari seluruh lokasi ini mencapai lebih dari 137 ribu ons.

Sebagian besar potensi emas berasal dari Timahan, Negrandi, dan Sumber Bening. “Untuk mencapai kapasitas produksi pengolahan sebesar 270.000 ton per tahun, maka umur tambang akan bertambah 27 tahun,” tulis dokumen tersebut. 

Alasan lain mengapa Pemerintah Kabupaten Trenggalek menampik kehadiran SMN karena kondisi alam. Menurut Ratna, frekuensi kejadian bencana alam seperti tanah longsor dan banjir yang cukup tinggi di Kabupaten Trenggalek dan menelan banyak korban. 

Dengan kehadiran SMN, Pemerintah Kabupaten Trenggalek menilai, aktivitas pertambangan akan memperburuk kondisi alam di Trenggalek. Hal ini berkaca pada aktivitas pertambangan di daerah lain yang membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitarnya dan memicu konflik sosial.

Di samping itu, Ratna mengatakan, kegiatan pertambangan tidak sesuai dengan corak kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat Trenggalek sebagai masyarakat agraris. “Atas dasar itu pemerintah daerah bersama masyarakat menolak kegiatan pertambangan SMN,” kata Ratna.

Ketua DPRD Kabupaten Trenggalek Doding Rahmadi membantah tudingan SMN masuk ke Trenggalek atas peran Bupati Muhamad Nur Arifin tidak benar. “Tidak begitu alurnya, perusahaan ini sudah masuk duluan sejak bupati sebelumnya,” kata Doding saat dikonfirmasi melalui telepon.

Menurutnya, SMN telah meneliti di Trenggalek pada 2005 silam, di mana Emil Elestianto Dardak dan Muhamad Nur Arifin belum menjabat kepala daerah di Trenggalek. Menurut Doding, SMN kemudian mengajukan peningkatan status eksplorasi menjadi eksploitasi di era pemerintahan Bupati Emil Elestianto Dardak pada 2018. “Jadi Bupati Emil yang menjabat di 2018 hanya melaksanakan saja karena SMN sudah mengantongi izin tambang,” terang Doding. 

Sikap Pemerintah Kabupaten Trenggalek berubah ketika dokumen AMDAL terbit. Dokumen itu menyatakan lahan konsesi tambang seluas 12.813,41 hektare mencaplok kawasan pertanian di Trenggalek yang tidak boleh ditambang sesuai Perda RTRW Trenggalek tahun 2012 – 2032.  

baca ini Mendulang Emas Hijau Demi Masa Depan

Sayang upaya memperbaiki dan memperkuat Perda tersebut terhalang sikap pemerintah pusat. Menurut Doding, hingga kini belum ada sinkronisasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tentang penataan kawasan Trenggalek. “Revisi perda RTRW kami menggantung sampai sekarang,” ungkap Doding. 

Ia berharap pemerintah pusat tidak lagi memperpanjang izin usaha pertambangan SMN yang akan berakhir pada 2029. Sebab Perda RTRW yang melindungi area pertanian Trenggalek akan habis masa berlakunya di tahun 2032.

Doding juga menampik adanya bias isu Net Zero Carbon dalam RPJMD Trenggalek, seperti yang ditudingkan aktivis ART. Isu yang sempat tersurat dengan jelas di RPJPD Trenggalek tahun 2025 – 2045 ini tidak lagi tampak pada dokumen RPJMD. Ia berdalih konsep Net Zero Carbon ini sudah masuk dalam jargon pemerintahan Nur Arifin yang berkeadilan ekonomi, sosial, dan ekologi. “Jargon ini sudah mewakili isu lingkungan yang dijamin keberlangsungannya dalam pemerintahan Nur Arifin,” katanya. 

Penulis: Hari Tri Wasono
Editor: Edy Can

Artikel ini didukung oleh AJI Indonesia dalam rangkaian program Akademi Jurnalis Ekonomi dan Lingkungan.

Print Friendly, PDF & EmailCetak ini
Tags: aliansi rakyat trenggalekbupati trenggalekdesa dukuhdurianeksplorasimenolak tambangMuhamad nur arifinPT SMNtambang
Advertisement Banner

Comments 2

  1. Pingback: Mendulang Emas Hijau Demi Masa Depan - Bacaini.id
  2. Pingback: Kunjungan Ahli Geologi di Tambang Emas Trenggalek Tuai Polemik, Bupati: Hati-hati! - Bacaini.id

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

Korupsi dana hibah pokmas Jawa Timur

Halim Kalla, Adik Kandung Jusuf Kalla Jadi Tersangka Korupsi PLTU Kalbar

23 SPPG di Trenggalek tidak bersertifikat tetap melaksanakan MBG

23 SPPG di Trenggalek Tak Bersertifikat Bebas Laksanakan MBG

Sempat Dihujat, Yai Mim Ternyata Ahli Filsafat dan Tasawuf Keturunan Sunan Ampel

Sempat Dihujat, Yai Mim Ternyata Ahli Filsafat dan Tasawuf Keturunan Sunan Ampel

  • Proyek jalan baru di Trenggalek

    Bangun Jalan Baru Pemkab Trenggalek Ngutang Rp20 M

    612 shares
    Share 245 Tweet 153
  • Telantarkan Anak, Oknum FPDIP DPRD Blitar Diputus Melanggar Etik

    593 shares
    Share 237 Tweet 148
  • Kepemilikan tanah dengan Letter C, Petuk D, dan Girik mulai tahun 2026 tidak berlaku. Mulai urus sekarang juga !

    15571 shares
    Share 6228 Tweet 3893
  • Isu Gratifikasi Membayangi Puncak Hari Jadi Blitar

    2924 shares
    Share 1170 Tweet 731
  • Djarum Grup Akuisisi Bakmi GM, Pendapatannya Bikin Melongo

    16620 shares
    Share 6648 Tweet 4155

Bacaini.id adalah media siber yang menyajikan literasi digital bagi masyarakat tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan keamanan, hiburan, iptek dan religiusitas sebagai sandaran vertikal dan horizontal masyarakat nusantara madani.

© 2020 - 2025 PT. BACA INI MEDIA. Hak cipta segala materi Bacaini.ID dilindungi undang-undang.
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Beriklan
  • Redaksi
  • Privacy Policy
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BACA
  • SOSOK
  • EKONOMI
  • BACAGAYA
  • INTERNASIONAL
  • OPINI
  • TEKNO & SAINS
  • REKAM JEJAK
  • PLURAL
  • HISTORIA
  • INFORIAL

© 2025 PT. BACA INI MEDIA. Hak cipta segala materi Bacaini.ID dilindungi undang-undang.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist