Bacaini.id, TULUNGAGUNG – Terowongan Niyama menjadi memori kolektif kelam bagi masyarakat Tulungagung. Terowongan sepanjang 1.157 meter dengan diameter 5-7 meter itu menjadi saksi bisu kekejaman penjajah jepang dalam memperbudak masyarakat Tulungagung.
Sejarawan asal Desa Batokan, Kecamatan Ngantru, Tulungagung, Latif Kusairi menceritakan, sekitar tahun 1940-an pada masa penjajahan Jepang, bencana banjir terus melanda Tulungagung. Kala itu, salah satu upaya untuk mencegah terjadinya bencana banjir adalah membuat terowongan air raksasa yang bisa mengalirkan air banjir ke laut.
“Namun, untuk membuat terowongan raksasa, memerlukan tenaga kerja yang sangat banyak. Apalagi melihat lokasi yang akan dibangun trowongan berada di dekat Gunung Tumpak Oyot,” kata Latif memulai ceritanya kepada Bacaini.id, Sabtu, 20 Agustus 2022.
Untuk merealisasikan keinginannya, Jepang menggunakan 20.000 orang untuk menjadi tenaga romusha. Dalam pembangunan terowongan yang berada di Kecamatan Besuki, Tulungagung, banyak pekerja romusha gugur, karena mereka juga dihadapkan dengan wabah penyakit malaria.
“Kekejaman penjajahan Jepang dalam proyek pembangunan Trowongan Niyama juga diabidakan dalam monumen. Bahkan sampai saat ini, memori kekejaman Jepang masih melekat di benak masyarakat Tulungagung,” bebernya.
Latif mengungkapkan, pada akhrinya Terowongan Niyama selesai dikerjakan pada tahun 1944 oleh ribuan tenaga romusha yang bertahan di bawah jajahan Jepang. Terowongan Niyama juga menjadi saluran air yang mengubungakan Parit Raya yakni kanal air dari Sungai Brantas menuju ke Terowongan Niyama serta Parit Agung, kanal air dari Trenggalek menuju Terowongan Niyama.
“Selain menjadi solusi bencana banjir di Tulungagung, Terowongan Niyama juga menjadi benteng pertahanan Jepang dari pasukan Australia,” ungkapnya.
Pembangunan Terowongan Niyama harus dibayar mahal, karena banyak tenaga romusha yang gugur akibat kekejaman penjajah Jepang. Sayangnya, setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1954, Tulungagung kembali mengalami bencana banjir karena Terowongan Niyama tidak dirawat dengan baik oleh pemerintahan pada saat itu.
“Apalagi adanya letusan Gunung Kelud pada 1952, Terowongan Niyama mengalami sedimen pasir yang membuat air semakin tinggi. Kondisi banjir terus terjadi di Tulungagung sampai tahhun 1970-an,” jelas Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta itu.
Lebih lanjut menurut Latif, pada masa orde baru, sekitar tahun 1976, pemerintah kembali memikirkan cara untuk menanggulangi bencana banjir di Tulungagung. Hingga akhirnya pemerintah membuat terowongan baru yang juga menjadi Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Tulungagung Selatan.
“Sepengetahun saya, saat ini Terowongan Niyama sudah diganti nama menjadi Terowongan Suka Makmur untuk menghilangkan nuansa Jepangnya. Namun, di sekitar terowongan terdapat monumen Suka Makmur untuk mengenang kekejaman penjajahan Jepang terhadap ribuan pekerja romusha,” pungkasnya.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira