Bacaini.ID, BANDUNG – Di tengah hiruk-pikuk pembangunan infrastruktur digital Indonesia, sebuah penelitian mengungkap fakta mengejutkan. Teknologi satelit canggih Starlink yang dikombinasikan dengan jaringan Wi-Fi komunitas ternyata jauh lebih murah dan efektif dibanding solusi konvensional untuk menjangkau desa-desa terpencil di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Studi yang dilakukan oleh Danny Kunto Wibisono dan Manik Suanantari dari Universitas Al-Azhar Indonesia membandingkan lima model implementasi internet satelit untuk program Digital Village 2.0 pemerintah. Hasilnya? Model Starlink plus Wi-Fi komunitas unggul telak dengan biaya investasi awal hanya USD 16.000-31.000 per desa, atau seperlima dari biaya sistem satelit tradisional VSAT.
“Yang lebih mencengangkan lagi, biaya operasional bulanan per rumah tangga hanya USD 2,2-3,3, setara Rp 35.000-52.000. Bandingkan dengan VSAT yang bisa mencapai Rp 350.000 per bulan,” ungkap Danny dalam penelitian tersebut.
Realitas menunjukkan kesenjangan digital masih menjadi momok di Indonesia. Data Kominfo menyebut penetrasi internet di kota-kota besar sudah melampaui 80 persen, sementara di banyak provinsi pedesaan masih di bawah 50 persen. Kondisi geografis yang menantang membuat pembangunan jaringan fiber optik atau menara seluler menjadi tidak ekonomis.

Di sinilah teknologi satelit orbit rendah atau Low Earth Orbit (LEO) seperti Starlink menawarkan terobosan. Berbeda dengan satelit geostasioner konvensional yang mengorbit 36.000 kilometer di atas bumi dengan latensi tinggi, satelit LEO berada di ketinggian 550-1.200 kilometer saja. Hasilnya, koneksi internet secepat fiber optik dengan latensi hanya 20-40 milidetik, cukup untuk video call atau belajar online.
Penelitian ini tidak hanya bicara soal angka. Menggunakan teori Difusi Inovasi dari Everett Rogers, peneliti menganalisis mengapa model Wi-Fi komunitas punya peluang adopsi lebih tinggi. “Masyarakat desa sudah familiar dengan smartphone dan Wi-Fi. Mereka tinggal connect, tanpa perlu perangkat khusus atau instalasi rumit,” jelas Danny.
Lebih dari itu, model komunitas memungkinkan desa mengelola sendiri jaringan internet mereka melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Ini menciptakan rasa kepemilikan dan keberlanjutan jangka panjang.
Penelitian tersebut merekomendasikan pemerintah untuk memprioritaskan model ini dalam program Digital Village 2.0, termasuk memberikan subsidi untuk investasi awal dan melegalisasi lisensi “Micro-PJI” agar BUMDes bisa mengelola jaringan secara legal.
Dengan 74.000 desa di Indonesia, potensi transformasi digital melalui model ini sangat besar. Akses internet yang terjangkau bukan hanya soal teknologi, tetapi kunci membuka peluang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi bagi jutaan warga di pelosok negeri.
Penulis: Hari Tri Wasono





