Bacaini.ID, KEDIRI – Menjelang detik-detik pemungutan suara, masyarakat mulai ramai membicarakan ‘serangan fajar’. Hari ini hingga besok pagi sebelum pemungutan suara, diyakini sebagai hilal atas munculnya serangan fajar.
Serangan fajar jamak dimaknai sebagai aksi bagi-bagi amplop oleh tim sukses pemenangan calon kepala daerah. Masyarakat kota hingga pedesaan bisa dipastikan faham dengan istilah ini, terutama menjelang pemilihan suara.
Pembagian amplop biasanya dilakukan pada masa tenang setelah kampanye hingga pemungutan suara. Di saat para kandidat berhenti melakukan aktivitas kampanye, di sinilah para tim sukses bergerak dengan senyap membagikan amplop.
Masa tenang dinilai efektif untuk membagikan amplop atau benda lainnya (biasanya sembako) kepada calon pemilih, karena mendekati hari pelaksanaan pilkada. Menurut pengakuan salah satu tim sukses, pemberian amlop mendekati coblosan agar mudah diingat oleh masyarakat. “Biasanya siapa paling terakhir memberi, dia yang akan diingat,” kata tim sukses atau biasa disebut kader kepada Bacaini.ID.
Selain pemilihan waktu, nilai amplop juga ikut menentukan pilihan masyarakat. Di tengah perilaku pemilih yang transaksional, hukum pasar berlaku di dunia politik. Harga membawa rupa.
Pelaku penyebaran uang kerap memilih waktu operasi di malam hari atau dini hari. Alasannya jelas, biar tidak ketahuan petugas pengawas ataupun rival politik. Hal inilah yang memantik munculnya istilah serangan fajar.
Film Perjuangan
Dalam konteks berbeda, serangan fajar sudah lebih dulu dikenal masyarakat Indonesia berupa film sejarah kemerdekaan RI. Film dengan judul ‘Serangan Fajar’ ini dirilis pada tahun 1982 dan memiliki durasi 210 menit. Film ini disutradarai oleh Arifin C. Noer dan dibintangi Charlie Sahetapy dan Jajang C. Noer.
Mengambil latar belakang peristiwa peperangan di daerah Yogyakarta pada tahun 1945-1947, film Serangan Fajar menghadirkan kisah fiktif seorang anak bernama Temon. Anak laki-laki yang masih lugu ini muncul di sela-sela perang bersama neneknya. Temon selalu menunggu kepulangan ayahnya yang telah gugur di medan perang.
Salah satu scene yang paling diingat adalah penyerbuan lapangan terbang Maguwo dan serangan beruntun di waktu fajar ke daerah sekitar Salatiga, Semarang.
Sulit Dibuktikan
Ketua Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan petugas pengawas pemilu kerap kesulitan menangani pelanggaran politik uang karena masalah pembuktian. Padahal, dalam kasus politik, aktor utamanya bisa tertangkap. “Karena yang perlu dicari adalah aktor utamanya (pelaku politik uang). Biasanya yang ditangkap itu aktor paling bawahnya,” katanya di Jakarta, 17 Oktober 2024.
Khusus dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), Bagja menilai penanganan pelanggaran politik uang jauh lebih sulit. Alasannya, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, penerima politik uang juga akan turut dipidana. “Hal ini membuat masyarakat akan lebih takut melaporkan praktik kecurangan tersebut ke Bawaslu,” terangnya.
Penulis: Hari Tri Wasono