Bacaini.ID, KEDIRI – Pada tahun 1980-an tradisi nyirih masih banyak ditemukan di berbagai pelosok tanah air, terutama di masyarakat pedesaan.
Menginjak tahun 90-an tradisi itu berangsur-angsur mulai langka.
Nyirih, nginang, bersugi, bersisik, menyepah, nyusur, merupakan sejumlah istilah untuk kegiatan mengunyah sirih dan pinang.
Di Indonesia, tradisi nyirih menyebar merata di dalam masyarakat tradisional dari pulau Sumatera, Sulawesi, Jawa hingga Papua.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga mengenal tradisi ini dengan sebutan nginang.
Meskipun belum diketahui pasti tradisi mengonsumsi sirih dan pinang yang konon telah dimulai sejak zaman neolitikum.
Sekitar 3000 tahun yang lalu, masyarakat Asia Tenggara diketahui melakukan nyirih. Aktivitas ini, bukan sekedar kegiatan individual.
Pada masa lalu, nyirih menjadi ritus sosial tiap orang dewasa, yang itu dilakukan oleh bangsawan hingga rakyat biasa.
Nyirih menjadi simbol keakraban, penghormatan pada lawan bicara atau tamu.
Bahkan ketika seseorang tidak menawarkan atau menolak nyirih saat bertamu, dianggap sebagai sebuah penghinaan.
Dikutip dari situs resmi Pemerintah Indonesia, ada beberapa pendapat bahwa nyirih berasal dari India.
Namun hal itu dipatahkan dengan bukti asal-usul pinang dan sirih yang merupakan tanaman asli kepulauan Indonesia.
Keterangan itu diperkuat dengan fakta bahwa nyirih memiliki posisi yang penting bagi masyarakat Indonesia di masa lalu.
Kemudian tradisi turun menurun yang mengakar hingga kini dengan ritual-ritual adat yang masih memakai pinang dan sirih sebagai simbol.
Jejak sejarah nyirih bisa ditemukan pada relief candi Borobudur dan candi Sojiwan.
Terlihat tempat sirih dan tempat meludah yang disebut dubang serta pahatan orang mengunyah.
Para arkeolog menafsirkan fragmen itu sebagai orang mengunyah sirih lantaran posisi pahatannya yang berdampingan.
Yang juga perlu diketahui, komposisi bahan untuk nyirih beragam. Masing-masing daerah memiliki kekhasan tersendiri.
Selain bahan utamanya adalah daun sirih, pinang dan kapur sirih atau injet, beberapa daerah juga menambahkan cengkeh, pala, kapulaga, kamper, ambar dan minyak rusa.
Namun gambir dan tembakau menjadi dua bahan tambahan yang lazim untuk nyirih dan banyak digunakan sebagai bahan tambahan utama. Ada beberapa yang menggunakan perasan jeruk.
Anthony Reid, sejarawan yang khusus meneliti Asia Tenggara mencatat bahwa tradisi nyirih dalam perjalanannya kemudian diadops orang-orang Eropa di Hindia Belanda.
Nyirih diyakini baik untuk kesehatan gigi. Namun, mulai pertengahan abad ke-18, orang-orang Belanda di Batavia mulai meninggalkan kebiasaan ini karena dianggap menjijikkan.
Hingga kini tradisi nyirih dianggap oleh sebagian orang sebagai bagian ritual adat masyarakat tradisional
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif