Bacaini.id, JAKARTA – Pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2024 di Ende, Sekjen DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengingatkan Nahdlatul Ulama (NU) didirikan untuk kepentingan seluruh bangsa, bukan hanya satu keluarga.
Pancasila diketahui lahir dari buah pikir Soekarno atau Bung Karno dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945.
Ucapan Hasto merespon pernyataan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor NU Addin Jauharuddin yang siap pasang badan jika ada yang menyakiti Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya.
“Kita masih ingat resolusi jihad 22 Oktober 1945, itu keberpihakan pada bangsa dan negara. Sehingga NU termasuk keluarga besar Ansor, saya yakin spiritnya adalah untuk Merah Putih, bukan untuk keluarga,” kata Hasto di Ende Sabtu (1/6/2024).
Yang tidak banyak diketahui dalam sejarah politik Indonesia, hubungan Soekarno atau Bung Karno dengan NU, pernah memanas. Terkoyaknya kemesraan Bung Karno dengan NU terjadi pasca peristiwa 30 September 1965 atau G30SPKI.
NU diketahui menjelma partai politik setelah menyatakan keluar dari Masyumi dan berhasil membuktikan sebagai pemenang empat besar dalam Pemilu 1955. PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Di tengah penentangan keras Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) terhadap konsep politik Nasakom (nasionalis agama dan komunis) Bung Karno, NU bersama PNI dan PKI tampil sebagai penyokong terdepan.
Namun pasca peristiwa G30SPKI, NU gerah ketika Bung Karno tidak segera membubarkan PKI dan malah terus mencari skema agar situasi politik nasional kembali kondusif.
“Sebagai organisasi yang sangat konsisten anti komunis, maka NU terus melakukan kampanye di masyarakat untuk menolak segala bentuk ajaran Marxisme Leninisme,” demikian dikutip dari buku Benturan NU PKI 1948-1965.
Di tengah situasi politik nasional yang memanas, pada tahun 1966 NU menggelar harlah ke-40 di Jakarta yang dipadati warga nahdliyin, terutama anggota Banser Ansor NU se Indonesia. Presiden Soekarno hadir.
Bung Karno mengemukakan harapan kepada NU agar menjadi pelopor kembalinya stabilitas nasional. Gayung bersambut. NU menerima tawaran itu dengan syarat Soekarno tidak lagi melibatkan PKI.
NU tetap kukuh dengan pendiriannya, PKI harus dibubarkan dan itu membuat Bung Karno kurang suka. Hubungan NU dan Bung Karno pun bertambah renggang. Kerenggangan itu membuat posisi politik Bung Karno kian terpojok dan lemah.
Dalam buku Benturan NU-PKI 1948-1965 disebutkan NU tidak berhenti melakukan serangan politik halus kepada Bung Karno.
Dengan gaya khas tokoh-tokohnya yang gemar berkelakar, NU membuat dalil politik dengan mengotak-atik bahasa. “Sukarno tanpa NO akan menjadi Sukar. Bung Karno tanpa NO akan menjadi Bungkar,” demikian dalilnya.
Sukar adalah sinonim dari situasi sulit. Kemudian Bungkar atau Bongkar merujuk pada keadaan yang carut marut, porak poranda. Sementara No diartikan sebagai ejaan lama NU atau NO (Nahdlatul Oelama).
Apa yang terjadi kemudian? Pada tahun 1967 atau tidak sampai 2 tahun pasca peristiwa 30 September 1965, Soekarno lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia dan digantikan oleh Soeharto.
Penulis: Solichan Arif