Bacaini.ID, KEDIRI – Jamu merupakan salah satu warisan nenek moyang Nusantara yang terkenal hingga kini. Masyarakat nusantara, khususnya Jawa mengenal jamu sejak era kerajaan Mataram kuno.
Tradisi meracik dan mengonsumsi jamu sebagai minuman kesehatan, ramuan obat lulur atau kompres dan detoksifikasi tubuh, berkembang pada era Hindu- Buddha.
Dilansir dari Google Arts & Culture, jejak pengobatan tradisional Jawa ditemukan pada sejumlah panil relief Karmawibhangga.
Relief yang terdapat pada bagian bawah Candi Borobudur itu memperlihatkan sosok laki-laki yang sedang dipijat dari kepala hingga dada dengan menggunakan ramuan.
Dalam relief juga terlihat visual seseorang membawa wadah berisi ramuan jamu untuk diminum. Digambarkan suasana penghormatan dan rasa syukur pada kesembuhan seseorang.
Pada bagian lain, terdapat juga relief yang menggambarkan ilustrasi beberapa tanaman yang dikenal sebagai bahan baku ramuan jamu.
Relief dengan visual serupa juga ditemukan pada beberapa candi, di antaranya Candi Prambanan, Penataran, Sukuh dan Tegawangi.
Jejak sejarah jamu sebagai obat dan minuman kesehatan juga ditemukan pada masa Kerajaan Majapahit.
Bahkan Hayam Wuruk (Raja Majapahit) mengatur rinci syarat pengobatan: dilarang melakukan pengobatan hanya demi uang dan dianggap sebagai pencuri jika dilanggar.
Selain itu raja berhak menghukum mati seseorang yang mencoba menyembuhkan sakit brahmana Hindu, namun gagal dan berakibat kematian.
Pengobatan tradisional yang melibatkan ramuan atau jamu di dalamnya juga tercatat dalam sejumlah prasasti.
Prasasti Balawi (1305 M) pada era Majapahit misalnya, menyebut profesi “tuha nambi” (dukun), “kdi” (dukun perempuan), dan “walyan” (tabib).
Sementara Prasasti Bendosari (1360 M), menyebut “janggan” untuk tabib desa dan Prasasti Madhawapura menyebut peracik jamu dan penjualnya sebagai “acaraki”.
Pada masa itu, acaraki akan melakukan ritual khusus sebelum meracik jamu atau melakukan pengobatan.
Namun jauh sebelum itu, kata ” oesada” dan “jampi” sudah dipakai untuk menyebut jamu. Hal itu termuat dalam Kitab Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh yang hidup mas Raja Jayabaya, Kerajaan Kediri.
Raja Jayabaya tercatat berkuasa sebagai Raja Kediri pada tahun 1135-1159 M.
Kata ” oesada” bermakna kesehatan, sementara “jampi” representasi dari campuran berbagai tanaman obat untuk diminum maupun dioleskan pada tubuh disertai doa-doa kesembuhan.
Sejarah Penulisan Resep Jamu
Resep jamu tertulis dalam Serat Centhini dan dipublikasikan tahun 1814. Di dalamnya mencatat sekitar 104 jenis tumbuhan tanaman obat sebagai bahan racikan 85 macam jamu untuk mengobati kurang lebih 30 jenis penyakit.
Jamu juga tertulis pada Serat Kawruh bab Jampi-Jampi Jawi, yang ditulis masa pemerintahan Pakubuwono V (1833).
Di dalamnya terdapat 1,166 resep pengobatan yang terdiri dari 922 resep racikan jamu dan 244 resep pengobatan berupa rajah, jimat, gambar-gambar, doa, rapal dan mantra.
Dalam serat juga menjelaskan kata “jampi” dipakai lingkup kerajaan atau bangsawan, dalam hal ini Keraton Surakarta. Untuk kalangan luar istana atau bukan bangsawan, menggunakan kata “jamu”.
Perkembangan jamu sebagai minuman obat dan kesehatan terus berlanjut hingga zaman kolonial.
Mengutip dari National Geographic Indonesia, pada abad ke-17 seorang ilmuwan bernama Jacobus Bontius menggunakan jamu untuk mengobati Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif