Bacaini.ID, KEDIRI – Ada istilah Ali Baba di perjalanan sejarah politik ekonomi awal kemerdekaan Indonesia.
Terminologi Ali Baba memang tidak sepopuler terminologi Jasmerah, Turba, Nasakom, Nekolim, Ganefo atau Manipol Usdek.
Sebab kehadirannya seperti semacam sandi untuk menyindir praktik korupsi, suap menyuap, dan koncoisme. Siapa ‘Ali’-nya? Dan siapa yang jadi ‘Baba’.
Istilah Ali Baba muncul setelah dikeluarkannya kebijakan Program Benteng yang diprakarsai Menteri Kesejahteraan Djuanda pada tahun 1950-an.
Pemerintahan Soekarno atau Bung Karno diketahui telah mengeluarkan lisensi impor yang khusus diberikan kepada golongan pribumi.
Kebijakan politik ekonomi yang oleh sejumlah pihak dinilai bersifat rasialis.
Mengutip dari The Chinese Business Elite In Indonesia And The Transition To Independence 1940-1950.
Sebelumnya pada tahun 1947-1948 berdiri Perserikatan Saudagar-Saudagar Indonesia (Perssi) yang dipimpin oleh F.H. Lapian pemilik NV Indagi dan Abdul Wahab pemilik Wahab Kongsi.
Kemudian menyusul berdiri Gabungan Importir Indonesia (Gindo) yang dipimpin Rachman Tamin dan Persatuan Pedagang Menengah.
Kebijakan Program Benteng diketahui telah memunculkan pengusaha atau importir aktentas alias pengusaha tidak bermodal dan bahkan tidak punya kantor.
Cukup berbekal aktentas mereka mendatangi kantor-kantor instansi pemerintah, terutama kantor Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN).
Para pengusaha modal dengkul dan pengaruh kekuasaan itu berusaha mendapatkan lisensi impor atau valuta asing dari bermacam-macam barang.
Setelah mendapat lisensi impor selanjutnya mereka mendatangi para pedagang Tionghoa untuk kemudian menjual lisensi tersebut.
Pada kekinian, pola ini mirip dengan sekelompok orang nirkapasitas yang mendapat pekerjaan (proyek) dari pemda melalui penunjukan langsung (PL), lalu dijual kepada kontraktor lain.
Pada masa pemerintahan Soekarno, kerja sama antara pribumi pemegang lisensi dengan Tionghoa pemegang modal itu kemudian dikenal sebagai sistem Ali Baba.
“Si Ali (pribumi) yang keluar masuk kantor pemerintah mencari lisensi dan fasilitas, sementara si Baba (Tionghoa) yang menjadi pelaksananya,” demikian dikutip dari buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Apa akibatnya? Praktik korupsi dan suap menyuap tumbuh subur dan rakyat yang paling merasakan imbasnya, di mana harga barang-barang makin mahal.
Pada sisi lain jumlah pengusaha pribumi pemburu lisensi impor bermodal dengkul dan kredit dari pemerintah makin bertambah, sementara porsinya tidak mengikuti.
Namun kendati demikian Program Benteng yang melahirkan praktik sistem Ali Baba terus berjalan, termasuk berlaku di Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Pada tahun 1954 Pemerintahan Soekarno resmi menghentikan Program Benteng lantaran hanya menyuburkan praktik korupsi.
Selain itu golongan etnis Tionghoa menyampaikan protes keras karena hanya menjadi kambing hitam dari kemarahan rakyat atas mahalnya harga-harga barang kebutuhan.
Penulis: Solichan Arif