Sejak tahun 1950 kawasan barat sungai Brantas Kota Kediri dikenal sebagai kampung penenun. Ratusan warga bekerja di industri tenun rakyat yang dikelola secara sporadis menciptakan lembaran kain motif dan sarung.
Tak banyak yang tahu jika sebelum kawasan industri di Kelurahan Bandarkidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri ini muncul, terdapat kisah pilu dan berdarah-darah yang dialami para penenun. Salah satunya Rukayah, penenun yang kini pasarnya merambah hampir seluruh Indonesia.
“Industri ini sempat ambruk setelah peristiwa gerakan 30 September PKI meletus,” kata Rokayah, 50 tahun, memulai kisahnya.
Sempat mati suri selama 20 tahun, satu per satu pemilik mesin tenun kembali memulai usaha, tak terkecuali Rokayah. Setelah menikah dengan Munawar yang merupakan bekas buruh tenun di Kelurahan Bandar Kidul, perlahan-lahan Rokayah membangun kembali usaha itu di rumah suaminya yang menjadi sentra perajin tenun.
Bermodal dua mesin tenun, pasangan suami istri ini memproduksi sendiri kain sarung yang menjadi produk utama perajin tenun. Menurut dia, tak banyak penenun yang membuka kembali usaha itu paska terjadinya pergolakan politik nasional. Sehingga ketika memunculkan produk sarung di tahun 1989, tak banyak pesaing yang mengancam bisnis Rokayah. Dari lima desa yang menjadi kawasan perajin tenun di wilayah barat Kota Kediri, hanya Kelurahan Bandar Kidul saja yang membangun kembali bisnis ini.
Usaha pasangan suami istri ini terus berjaya dan merekrut banyak tenaga kerja dari penduduk sekitar. Mereka juga mampu menggandakan jumlah mesin tenun yang semula hanya dua unit menjadi 15 unit meski berupa mesin manual. Mesin tenun yang dibuat dari kayu ini digerakkan oleh tenaga manusia dan masih dipertahankan oleh Rokayah hingga sekarang.
Kejayaan industri tenun ini kembali diuji setelah terjadi krisis ekonomi besar-besaran di tahun 1997. Mahalnya harga bahan baku benang dan pewarna menjadi tak terkejar dengan harga jual sarung yang kala itu dibanderol Rp 25.000 per potong. “Saya akhirnya menyerah dan menutup usaha ini,” kata Rokayah.
Tidak adanya peluang kerja di luar tenun memaksa Rokayah menjadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi. Namun tak seperti TKW lain yang betah berlama-lama memburu Real, Rokayah memutuskan pulang ke tanah air setelah dua tahun merantau. Uang pesangon dan hasil kerja sebesar Rp 14 Juta menjadi modal membangun kembali usaha tenunnya. Dari jumlah itu, Rokayah menyisihkan Rp 2,5 juta untuk membeli televisi berwarna. Sedangkan sisanya habis diperuntukkan membeli benang dan zat warna.
Bermodal 15 unit mesin tenun yang masih terawat baik, Rokayah dan suaminya memulai kembali pembuatan sarung di tahun 2001. Perlahan-lahan bekas pekerjanya yang sempat menganggur ditarik kembali. “Tiap hari Kamis saya keliling hingga ke gunung menjual sarung sendiri. Sebab hari Sabtu harus membayar gaji pekerja,” kenang Rokayah.
Untuk mempertahankan usahanya, Rokayah memberanikan diri memproduksi bentuk lain. Ia melakukan diversifikasi dengan membuat tas dan sepatu. Ppembuatan produk ini memanfaatkan kain perca atau sisa potongan sarung dan pakaian untuk diserahkan kepada perajin sepatu dan tas yang menjadi rekanannya.
Diversifikasi ini pula yang membuat usaha kain tenun di Kelurahan Bandar Kidul lebih bertahan dibanding industri serupa di Nusa Tenggara Timur. Selain perbedaan benang dan teknik mengikat, perajin tenun di propinsi itu lebih menyukai membuat syal, jok kursi, taplak, gorden, dan jas. Hal ini dinilai Rokayah menjadi kelemahan karena barang-barang itu sangat jarang dipergunakan masyarakat. “Jatuhnya hanya menjadi souvenir yang dibeli turis,” kata Rokayah.
Nasib Rokayah makin membaik setelah Walikota Kediri Abdullah Abu Bakar melalui SK Walikota menerbitkan aturan pemakaian batik tenun Bandar Kidul sebagai seragam wajib PNS di Hari Kamis. “Kebetulan permintaan itu dipercayakan kepada saya,” kata Rokayah yang memberi label Medali Emas pada produknya.
Kini produksi tenun ikat Bandar Kidul benar-benar menjadi ikon Kota Kediri di pasar tenun tanah air. Tak sulit menemukan lokasi kampung ini. Di ujung gang dengan gapura warna ungu terukir tulisan warna emas “Kampung Industri Tenun Ikat Bandar Kidul”. Sepanjang perjalan menyusuri gang akan terlihat deretan papan nama produk tenun ikat warga.
Banyaknya papan nama ini tak seluruhnya milik perajin. Sebagian dari mereka adalah para reseller atau penjual yang tak memproduksi kain sendiri. Beberapa perajin juga hanya mengambil bahan kain untuk digunting menjadi produk pakaian. (*)