Bacaini.ID, BLITAR – Saya bagian dari generasi reformasi 1998 dan hingga kini masih menyimpan baik-baik memori kolektif perjuangan mahasiswa dan rakyat: Menumbangkan rezim otoriter Orde Baru.
Salah satu sasaran utama massa aksi waktu itu adalah Dwifungsi ABRI (sekarang TNI) yang harus digergaji, dipotong, didongkel dan dikubur selama-lamanya.
Dwifungsi ABRI adalah sebuah konsep kekuasaan yang menempatkan militer sebagai alat pertahanan sekaligus kekuatan politik di pemerintahan (eksekutif) dan parlemen (legislatif) yang menafikan proses demokrasi.
Sudah dua dekade lebih masa-masa pahit itu (Dwifungsi ABRI) berlalu dan mustahil dilupakan. Namun kendati demikian hal itu seyogyanya tidak menimbulkan trauma sejarah.
Kita harus membaca ulang konteks zaman dengan obyektif. Jeli membedakan mana pengulangan masa lalu dan mana langkah maju demi ketahanan bangsa.
Trauma sejarah hanya akan membuat kejumudan. Ini yang sedang berlaku dengan Revisi UU TNI yang belum lama ini disahkan. Revisi UU TNI bukan jalan kembalinya Dwifungsi Militer.
Revisi yang diterima dengan tangan terbuka oleh legislatif di senayan adalah bagian transformasi sistem pertahanan nasional.
Hal itu dalam kerangka demokrasi modern dan sekaligus persiapan menuju Indonesia Emas 2045.
Dari Trauma ke Transformasi
Yang perlu dipahami, Revisi UU TNI tidak membuka jalan lapang kembalinya prajurit TNI untuk terjun ke politik praktis.
Mereka tetap dilarang menjadi kepala daerah tanpa pemilu, tidak boleh memiliki fraksi di DPR/DPRD, dan dilarang menjalankan kegiatan bisnis.
Revisi UU TNI justru mempertegas batasan sekaligus membuka ruang bagi penugasan strategis prajurit aktif di lembaga-lembaga negara.
Penugasan yang terkait langsung dengan tugas TNI, seperti Bakamla, BNPP, Kejaksaan Militer, hingga Mahkamah Agung Militer.
Pasal 7 UU TNI menyebut TNI tidak hanya menjalankan operasi militer perang, tapi juga Operasi Militer Selain Perang (OMSP)—termasuk dalam penanganan bencana, bantuan kemanusiaan, keamanan perbatasan, hingga pengamanan objek vital nasional.
Beberapa tahun lalu kita telah melihat peran TNI yang luar biasa dalam penanganan pandemi Covid-19, menyukseskan program vaksinasi, dan memberikan bantuan tanggap bencana.
Semua yang ada itu tentu saja tidak bisa disamakan dengan praktik Dwifungsi ABRI masa lalu yang bersifat struktural dan politis.
Seperti diungkapkan Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI yang juga aktivis 1998:
“UU TNI tidak membuka ruang bagi TNI menjadi alat kekuasaan. Justru UU ini memperkuat peran fungsional prajurit dalam mendukung tugas negara yang relevan dengan pertahanan dan keamanan.”
Teori Demokrasi dan Supremasi Sipil
Dalam teori Civilian Control of the Military, Samuel P. Huntington menyebut militer yang profesional adalah militer yang tunduk pada otoritas sipil, tetapi tetap diberdayakan secara maksimal dalam fungsi pertahanan dan keamanan nasional.
Konsep ini juga selaras dengan prinsip checks and balances dalam demokrasi modern.
Hal senada ditegaskan oleh Larry Diamond, akademisi dari Stanford University.
“Demokrasi yang sehat tidak mengasingkan militer, tapi menempatkan mereka dalam peran yang konstruktif, terkontrol, dan profesional.”
Artinya, penempatan prajurit aktif di lembaga-lembaga strategis bukan pelanggaran demokrasi, melainkan penguatan kapasitas negara dalam menjaga stabilitas nasional—selama dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas.
Menyongsong Indonesia Emas 2045: Perubahan adalah Keniscayaan
Indonesia Emas 2045 adalah visi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, adil, sejahtera, sekaligus berdaya saing global di usia 100 tahun kemerdekaan.
Untuk sampai pada visi itu, kita butuh institusi negara yang kuat, modern, adaptif, dan profesional. Keberadaan revisi UU TNI adalah bagian reformasi kelembagaan nasional.
Kita juga harus mendorong pembenahan di tubuh Polri, Kejaksaan, birokrasi, lembaga peradilan, bahkan sistem pendidikan dan ekonomi.
Semua harus bertransformasi mengikuti perubahan zaman dan tuntutan masyarakat.
Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo secara tegas menyampaikan:
“Semua harus berubah. Dunia berubah sangat cepat. Siapa yang lamban akan ditinggal. Siapa yang tidak berani berubah, akan tergilas.”
Dalam ilmu organisasi, Kurt Lewin mengajukan teori tiga tahap perubahan: unfreezing, changing, dan refreezing.
Revisi UU TNI berada di fase changing—yakni langkah nyata untuk menciptakan sistem yang lebih adaptif dan relevan di abad ke-21.
Sementara Alvin Toffler dalam The Third Wave menyebut:
“Mereka yang mampu belajar, meninggalkan cara lama, dan merangkul perubahan, adalah yang akan bertahan dan memimpin masa depan.”
Kita Butuh Optimisme dan Rasionalitas, Bukan Ketakutan Masa Lalu
Sebagai aktivis sosial, advokat, dan pengamat kebijakan publik, saya mengajak seluruh elemen bangsa untuk berpikir rasional dan objektif dalam menyikapi perubahan.
Kecurigaan membabi buta hanya akan menjadi penghalang kemajuan. Namun pengawasan cerdas adalah jaminan agar perubahan tetap pada jalur yang benar.
Seperti peringatan yang disampaikan Prof. Anies Baswedan:
“Menuju Indonesia Emas membutuhkan kolaborasi lintas institusi dan lintas generasi. Semua institusi negara harus berubah—bukan hanya mengikuti zaman, tapi juga memimpin zaman.”
Revisi UU TNI adalah momentum untuk mengokohkan peran TNI sebagai garda terdepan pertahanan negara yang profesional, tidak berpolitik, dan mampu bersinergi dengan kekuatan sipil dalam membangun bangsa.
Kolaborasi Sipil-Militer Menuju Masa Depan
TNI yang profesional adalah aset bangsa. Demokrasi yang matang adalah demokrasi yang percaya bahwa semua elemen—termasuk militer—dapat berperan dalam batas hukum dan konstitusi.
Revisi UU TNI bukan ancaman, tetapi peluang emas untuk memperkuat kedaulatan bangsa di tengah dinamika global.
Dalam menuju Indonesia Emas 2045 kita butuh semangat kolaboratif antara kekuatan sipil dan militer. Kita butuh perubahan yang terarah, bukan stagnasi yang nyaman.
Kita butuh kesadaran kolektif bahwa semua institusi harus bergerak maju—dengan pikiran terbuka, niat tulus, dan komitmen kebangsaan.
Sebagaimana pesan founding father kita, Bung Hatta:
“Negara ini tidak akan menjadi kuat hanya dengan senjata, tetapi dengan kecintaan pada keadilan dan keteraturan.”
Karenanya Reformasi bukan hanya tentang menolak masa lalu, tapi tentang menyiapkan masa depan. Mari kita kawal perubahan dengan cerdas, kritis, dan optimis.
Penulis: Mohammad Trijanto (Mantan Aktivis Mahasiswa 1998 yang sekarang aktivis anti korupsi, Advokat dan Mediator)