Bacaini.ID, KEDIRI – Umat Islam di berbagai daerah Indonesia kembali memperingati Rebo Wekasan, sebuah tradisi spiritual yang berlangsung setiap Rabu terakhir di bulan Safar. Tahun ini, Rebo Wekasan jatuh pada Rabu, 20 Agustus 2025 atau bertepatan dengan 26 Safar 1447 H.
Rebo Wekasan yang juga dikenal sebagai Rabu Pungkasan merupakan warisan budaya Islam-Jawa yang telah berlangsung sejak masa Wali Songo pada abad ke-17. Tradisi ini lahir dari keyakinan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Safar, Allah SWT menurunkan berbagai macam bala atau musibah ke bumi.
Dalam kitab Kanzun Najah wa-Surur karya Syekh Abdul Hamid Quds, disebutkan bahwa jumlah bala tersebut mencapai 320.000 dalam satu hari.
Meski tidak disebutkan secara eksplisit dalam hadis sahih, tradisi ini berkembang sebagai bentuk ikhtiar spiritual dan akulturasi budaya yang mengajarkan umat untuk memperbanyak ibadah, doa, dan amal baik sebagai perlindungan dari marabahaya.
Amalan yang Dianjurkan
Beragam amalan dilakukan oleh masyarakat Muslim saat Rebo Wekasan, baik secara individu maupun berjamaah. Berikut beberapa amalan yang umum dipraktikkan:
- Shalat Sunnah Tolak Bala
Dilakukan sebanyak 4 rakaat dengan dua kali salam. Setiap rakaat setelah Al-Fatihah dibaca:- Surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali
- Surat Al-Ikhlas sebanyak 5 kali
- Surat Al-Falaq dan An-Naas masing-masing 1 kali
- Membaca Surat Yasin
Dibaca sebanyak 3 kali. Pada ayat ke-58 “Salamun qaulan min Rabbin Rahim”, dianjurkan untuk diulang hingga 313 kali sebelum melanjutkan bacaan dan berdoa - Doa Keselamatan dan Tolak Bala
Doa-doa khusus seperti Sholawat Nariyah dan Asmaul Husna dibaca untuk memohon perlindungan dari musibah. - Menulis Ayat Salam
Tujuh ayat yang mengandung kata “salam” ditulis di atas piring, lalu dihapus dengan air dan diminum sebagai simbol perlindungan - Sedekah dan Silaturahmi
Memberi kepada fakir miskin dan mempererat hubungan sosial dianggap sebagai bentuk tolak bala yang paling nyata.
Meski dianut banyak orang di Indonesia, tradisi Rebo Wekasan tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian ulama menyebutnya sebagai bentuk bid’ah hasanah selama diniatkan sebagai shalat sunnah mutlak, bukan ritual khusus yang diwajibkan. Ulama seperti Buya Yahya dan KH Abdul Hamid Quds menekankan pentingnya niat dan tidak menganggapnya sebagai ibadah baru yang bertentangan dengan syariat.
Penulis: Hari Tri Wasono