
Mujianto ditangkap pada Februari 2012 dan diadili di Pengadilan Negeri Nganjuk. Ia dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Hakim menjatuhkan vonis 9 tahun penjara, satu tahun lebih tinggi dari tuntutan jaksa, karena kekejaman dan minimnya penyesalan dari terdakwa selama persidangan.
Kuasa hukumnya, Yumiran, menyatakan bahwa Mujianto menerima hukuman tersebut dan tidak mengajukan banding. “Dia menyadari perbuatannya. Saya tanya, mau banding atau tidak, dia memilih menerima,” ujar Yumiran.
Tim dokter RS Bhayangkara Jatim yang menangani kasus ini menyebut bahwa motif Mujianto bukan harta, melainkan emosi dan cemburu. Ia tidak membunuh untuk menguasai kekayaan korban, melainkan untuk menghapus jejak rasa yang tak terbalas. Dalam pemeriksaan psikologis, Mujianto digambarkan sebagai pribadi polos, berbeda dengan pembunuh berantai lain seperti Ryan Jombang yang lebih kompleks secara psikologis.
Kisah Mujianto bukan hanya tentang kejahatan, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memandang identitas seksual, kemiskinan, dan kesehatan mental. Ia adalah pria miskin, terisolasi, dan hidup dalam struktur sosial yang tidak memberinya ruang untuk memahami atau mengekspresikan dirinya secara sehat.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa kejahatan bisa lahir dari luka yang tak tertangani, emosi yang dipendam, cinta yang tak terbalas, dan sistem sosial yang tak memberi ruang untuk penyembuhan.
Penulis: Hari Tri Wasono