Bacaini.ID, KEDIRI – Kata-kata cemoohan “inlander goblok” atau “inlander pemalas” kerap ia dengar sejak kecil, dan itu selalu membuat kupingnya memerah.
Bagi Suryopranoto cacian yang terlontar dari mulut sinyo-sinyo (anak Belanda) maupun indo itu artinya undangan untuk berbaku hantam.
Ia selalu bergegas di posisi terdepan membela sesama pribumi. Lahir dengan nama Iskandar 11 Januari 1871, Suryopranoto merupakan cucu Pakualam III.
Tokoh pergerakan masa pra kemerdekaan ini merupakan kakak kandung Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara.
Meski terlahirsebagai ningrat (bangsawan) di lingkungan jantung feodalisme, Suryopranoto tidak pernah membanggakan nasab (keturunan) darah birunya.
KPA Suryaningrat, ayahnya, melalui sastra piwulang telah mengajarinya sejak kecil untuk selalu mencintai rakyat.
Pandangan feodalisme yang selalu memandang manusia dalam kluster-kluster sosial berdasarkan nasab dan ekonomi, dibuangnya jauh-jauh.
Termasuk menggugat dalam pikiran tradisi dodok sembah, yakniadat berjalan dalam posisi jongkok dan menyembah saat hendak menghadap raja.
Tradisi priyayisme yang dalam perjalanannya kemudian dispekulasikan diadopsi lingkungan pesantren, termasuk pemberian gelar Gus,
“Bagaimana mungkin seorang raja dan keluarganya mengayomi kawula (rakyat) seperti diajarkan piwulang, jika rakyat masih ditempatkan seperti budak?”.
Tidak kaget kalau Suryopranoto kemudian secara radikal membuang gelar “Raden Mas” yang sebelumnya selalu tersemat di depan namanya.
Keberpihakannya kepada kaum mustadhafin, kaum tertindas utamanya buruh dan tani kian kental ketika aktif di Sarekat Islam (SI) Yogyakarta.
Ia memimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB), organ federasi kaum buruh yang berdiri akhir Desember 1919.
Pada pertengahan 1920, nyaris seluruh pabrik gula dan perkebunan di Jawa, muncul aksi-aksi pemogokan buruh. Di antaranya pabrik gula, tapioka dan kayu di Malang.
Kemudian pabrik gula di Surabaya, Madiun, Tegal, Pati, Pekalongan dan sebagainya.
Di tangan Suryopranoto, mogok jadi senjata utama kaum buruh. Sampai-sampai pers Belanda menjulukinya de staking konig, raja pemogokan atau raja mogok.
“Saudara-saudara! Perkelahian yang akan datang ini amat hebat dan penting! Di sini keperluan kita akan dipastikan mati atau hidup. Karena itu kita mesti tetap gerak mogok, tidak was-was hati, kecil hati atau takut sedikit saja,” demikian seruan Suryopranoto.
Berikut profil singkat Suryopranoto:
Nama Lengkap: Raden Mas Suryopranoto
Tanggal Lahir: 11 Januari 1871
Tempat Lahir: Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta
Wafat: 15 Oktober 1959, Cimahi Jawa Barat
Julukan: “Raja Mogok”
Julukan ini diberikan karena Suryopranoto sering memimpin aksi-aksi mogok kerja untuk memperjuangkan hak-hak buruh.
Pendidikan dan Karier
Suryopranoto menempuh pendidikan di sekolah kolonial Belanda dan menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu sosial sejak muda.
Ia aktif dalam dunia pendidikan dan bekerja sebagai guru, memperjuangkan akses pendidikan yang lebih baik untuk rakyat pribumi.
Peran dalam Pergerakan Nasional
Organisasi: Suryopranoto aktif dalam beberapa organisasi seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam. Namun, ia lebih dikenal melalui perannya dalam pergerakan buruh.
Aktivisme Buruh: Ia sering memimpin mogok kerja sebagai bentuk protes terhadap eksploitasi buruh oleh penguasa kolonial dan perusahaan-perusahaan Belanda.
Perjuangan: Ia mendukung ide-ide kemerdekaan Indonesia dan menggunakan jalur organisasi serta pendidikan untuk membangkitkan kesadaran rakyat.
Kiprah dan Warisan
Suryopranoto adalah salah satu tokoh yang memperjuangkan hak-hak kaum buruh pada masa kolonial.
Ia menjadi inspirasi bagi gerakan buruh Indonesia dan dianggap sebagai pionir dalam menyuarakan keadilan sosial.
Editor: Solichan Arif
Disclaimer: Artikel ini ditulis dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Hubungi redaksi Bacaini.ID jika ada yang perlu dikoreksi untuk penyempurnaan tulisan kami.