Bacaini.ID, JAKARTA – Terungkapnya praktik culas oplosan BBM jenis Pertalit menjadi Pertamax yang melibatkan anak perusahaan PT Pertamina, yakni PT Pertamina Patra Niaga dan Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengejutkan masyarakat Indonesia. Dalam kurun waktu lima tahun (2018 – 2023), pengguna BBM jenis Pertamax telah ditipu secara massal.
Kejaksaan Agung mengungkap kerugian negara akibat tindak pidana ini mencapai Rp.193,7 triliun/tahun, artinya kerugian negara dalam lima tahun Rp 968,5 triliun. Perbuatan itu dilakukan oleh empat pejabat Pertamina, yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, serta VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.
Selain mereka, ada pula tiga tersangka dari pihak swasta; Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Tantangan Penyidik Mengungkap TPPU dengan Modus Perdagangan Internasional
Tantangan penyidik Kejaksaan untuk mengungkap pidana pencucian uang dalam kasus ini juga tidak mudah, mengingat dari beberapa perusahaan KKKS yang tersangkut dan direksi dan komisaris telah ditetapkan menjadi tersangka ternyata beberapa perusahaan tersebut sahamnya dimiliki oleh perusahaan asing dan dimiliki perusahan PT lokal yang berlapis-lapis. Beberapa perusahaan sahanya dimiliki perusahaan di Inggris, Singapura dan Hongkong. PT Navigator Khatulistiwa dimiliki pesaham atas nama Navigator Gas Invest Limited di London, dimiliki PT Pesona Sentra Utama, PT Mahameru Kencana Abadi, Nolan Niall Joseph (WN Inggris), Navigator Gas Singapura Pte. Ltd di Singapura. Dan perusahaan lainya dimiliki oleh Oro Storage (HK) Limited.
Indonesia telah menjadi anggota penuh Financial Action Task Force (FATF), yaitu rezim anti pencucian uang pada 23 Oktober 2023 di Paris, Perancis dan Indonesia telah menandatangani Common Reporting Standard (CRS) yang dikembangkan oleh OECD yaitu pertukaran data perpajakan dan keaungan dengan negara-negara lain melalui AEoI (Automatic Exchange of Information). Negara lain seperti Singapura, Inggris, Hongkong juga ikut bagian menjadi anggota.
Artinya penyidik tidak hanya mengandalkan Mutual Legal Assistance (MLA) untuk menelusuri dan membuktikan adanya TPPU dengan Modus Perdagangan Internasional dalam kasus ini tetapi memanfaatkan ketentuan perjanjian bilateral dan multilateral tersebut untuk menelusuri aliran uang dari pihak yang terlibat di luar negeri. Terlebih Indonesia menjadi negara aksesi OECD pada Mei 2024 dan menjadi anggota penuh FATF, hal ini akan lebih memudahkan untuk melakukan pelacakan aset, aliran uang jika memang terjadi TPPU dengan modus perdagangan internasional yang sulit dibuktikan karena lintas yurisdiksi.
Terbaru, Kejaksaan Agung kembali menetapkan dua pejabat Pertamina sebagai tersangka, yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne. Publik pun ramai-ramai menyuarakan class action dan pidana korporasi atas praktik tersebut. Sejauh mana potensi melakukan langkah tersebut, begini analisanya.
Beberapa aturan hukum yang bisa menjadi landasan gugatan ini adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, KUHP terkait penipuan dan pemalsuan produk, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Tipikor, serta peraturan tentang standar kualitas BBM. Pelanggaran hukum yang dilakukan adalah tindakan pencampuran BBM yang dapat dianggap sebagai penipuan terhadap konsumen, pelanggaran standar kualitas produk, manipulasi produk yang merugikan konsumen, serta pelangggaran terhadap hak konsumen untuk mendapatkan barang sesuai spesifikasi.
Apakah pidana ini menjadi tanggung jawab direksi secara perseorangan atau merupakan tanggung jawab korporasi?
Sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 155 menyebutkan bahwa direksi dapat diminta pertanggungjawaban secara personal (pribadI) jika terbukti ada unsur kesengajaan. Sedangkan secara korporasi, ia menjadi representasi dari perusahaan yang bertanggung jawab secara perdata atas kerugian yang dialami konsumen dan pidana jika terbukti ada unsur kejahatan.
Jika unsur pidana tersebut terpenuhi, maka upaya gugatan class action (gugatan perwakilan kelompok) bisa dilakukan. Di luar itu ada pula langkah lain berupa pengaduan ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), membuat laporan pidana ke Kepolisian, dan atau melayangkan gugatan perdata ke pengadilan.
Dengan langkah ini, pelaku dapat dikenai sanksi berlapis, mulai administratif, denda sesuai ketentuan UU Perlindungan Konsumen, ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan, serta sanksi pidana jika terbukti ada unsur kejahatan seperti korupsi.
Masyarakat bisa memulainya dengan cara mengumpulkan bukti kerugian akibat penggunaan BBM yang dioplos, membentuk kelompok konsumen untuk gugatan class action, melaporkan ke lembaga perlindungan konsumen, dan mengajukan gugatan melalui pengacara yang kompeten.
Adapun kejahatan korporasi atas perbuatan ini bisa dipenuhi jika terbukti ditemukan tindakan melawan hukum dalam bentuk pengoplosan BBM, adanya niat jahat (mens rea) untuk mendapatkkan keuntungan finansial perusahaan, menimbulkan kerugian bagi konsumen dan negara, melibatkan struktur organisasi perusahaan dan dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Mengingat kejahatan ini telah dilakukan dalam kurun waktu 2018 – 2023.
Kejahatan korporasi juga memiliki ciri khas, yakni melibatkan pejabat tinggi perusahan (direksi), menggunakan sarana dan prasarana perusahaan, dilakukan untuk kepentingan korporasi, terjadi dalam konteks kegiatan bisnis yang sah, dan memiliki dampak kerugian yang masif. Artinya penyidik Kejaksaan perlu membuktikan pada saat melakukan perbuatan pidana dilakukan dengan menggunakan mekanisme korporasi atau mens rea pribadi dan keuntungan yang diperoleh dan dinikmati secara pribadi atau untuk perusahaan. Jika kemudian terbukti mekanisme korporasi dan keuntungan untuk korporasi, maka sudah dapat menjadi dasar sebagai pidana korporasi.
Bagaimana jika masyarakat sebagai konsumen pertamina selama lima tahun ini akan melakukan Class Action?, bagaimana perhitungan kerugian bisa didasarkan pada tiga hal, yaitu pertama selisih harga yang dibayarkan konsumen untuk produk BBM yang tidak sesuai dengan spesifikasi, kedua potensi kerusakan mesin kendaraan akibat penggunaan BBM yang tidak sesuai spesifikasi yang dijual dan ketiga kerugian tidak langsung akibat kenaikan biaya transportasi dan logistik.
Bayangkan jumlah kerugian negara selain dikorupsi, negara juga harus menanggung kerugian akibat tuntutan class action akibat ulah oknum/korporasi yang korup tersebut? Jumlah pemakai Pertamax pada tahun 2023 sebanyak 17% dari total nilai konsumsi bahan bakar minyak setahun.
Penulis: Danny Wibisono*
*)Mahasiswa Semester Akhir Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Jakarta Timur