Pagebluk Corona Virus Deseas 2019 (Covid-19) terus mengguncang dunia dan belum bisa dipastikan kapan akan berakhir sampai vaksin ditemukan. Dipastikan akan memakan waktu panjang bagi ekonomi dunia untuk kembali “normal”seperti awal 2019 lalu. Di Jawa Timur khususnya Kediri Kota dan Kabupaten, dampak Covid-19 juga sangat mempengaruhi seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Meskipun Kediri dikenal sebagai salah satu daerah dengan tingkat ekonomi stabil di Jawa Timur, Tetapi Pandemi Corona membuat simpul-simpul ekonomi masyarakat seakan terhenti. Banyak petani, pedagang dan pelaku UMKM yang terkenal tangguh diterpa ‘badai’, tetapi pagebluk ini akhirnya membuat mereka ‘menangis’. Kondisi serupa juga dirasakan para pengusaha dan pelaku usaha menengah ke atas yag ada di Kediri.
Meskipun dalam beberapa bulan terakhir tidak terjadi kenaikan harga kebutuhan bahan pokok yang drastis, tetapi pemberlakukan Pembatasan social Berskala Besar (PSBB) yang berarti pula adanya berbagai pembatasan “gerak” para pelaku usaha dari mulai mikro maupun besar. Bagi pelaku usaha yang aktivitasnya bisa dilakukan dengan tekonologi informasi (TI) dan pekerjaan bisa dilakukan di rumah, maka pagebluk ini tidak begitu terasa.
Tetapi bagi pelaku usaha informal, pekerja lapangan dan angkutan, Pandemi ini mampu memporak-porandakan kehidupan ekonomi mereka. Pedapatan pelaku usaha menurun drastis, bahkan banyak masyarakat yang berprofesi karyawan, harus kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tidak mampu lagi membayar gajinya.
Banyak pedagang pasar yang menangis karena dagangannya tidak ada yang mampu membelinya meskipun harga relatif tidak naik. Bagaimana para petani merenungi nasib hasil panennya yang tidak bisa dijual karena harga komoditi pertanian saat ini cenderung anjlok. Kondisi ini tidak sebanding dengan betapa susahnya petani mendapatkan pupuk murah. Balik modal saja, petani Kediri sudah bersyukur. Padahal sektor pertanian merupakan penopang terbesar ekonomi masyarakat Kediri, yang mencapai hamper 40%.
Stimulus pemerintah belum efektif
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan perekonomian di tingkat Nasional maupun pertumbuhan perekonomian di Jawa Timur, sangat mempengaruhi kinerja ataupun pertumbuhan ekonomi di tingkat Daerah dalam hal ini Kota dan Kabupaten Kediri.
Perkembangan nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) hingga akhir 2019 (awal Pandemi), selalu mengalami peningkatan antara 15 % sampai 20% per tahun. Pertumbuhan ekonomi tersebut ditentukan oleh 2 hal yaitu, oleh perkembangan aktivitas perekonomian masyarakat Kediri dan pertumbuhan atau peningkatan perekonomian skala Nasionai maupun Jawa Timur.
Data BPS juga menyebutkan pertumbuhan perekonomian Kediri sebelum Covid-19 melanda, selalu mengalami perubahan, baik itu dengan adanya PT. Gudang Garam maupun tanpa adanya PT. Gudang Garam, antara 5% sampai 8% per tahun. Badai pandemi Covid-19 awal 2020 lalu, menerpa semua sektor kehidupan masyarakat Kota dan Kabupaten Kediri, mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini bersumber dari penurunan kinerja dunia usaha, akibat penurunan jumlah kunjungan masyarakat di pusat-pusat pertokoan (pasar), terganggunya pasokan bahan baku, menurunnya daya beli masyarakat serta penundaan realisasi investasi di semua daerah terdampak Covid-19, termasuk Kediri.
Kondisi ini memaksa pemerintah baik di tingkat pusat, provinsi, kota dan Kabupaten untuk membuat berbagai kebijakan dalam menghadapi badai yang belum bisa diprediksi kapan berakhirnya ini. Alokasikan anggaran APBN sekitar Rp 650 trilyun dari pemerintah pusat, dirasa belum cukup untuk mengatasi Pandemi ini di 34 provinsi.
Anggaran sebesar itu hanya cukup dialokasikan pemerintah untuk membiayai semua sarana medis, perawatan masyarakat yang terjangkit Covid-19. Sedangkan untuk menjaga stabilitas ekonomi akibat pandemi ini berupa stimulus ekonomi dirasa belum memadahi dan jauh dari kata cukup. Banyak alokasi dana yang seharusnya mampu dicover dana stimulus ini belum tersalurkan dengan efektif.
Kurang memadainya stimulus dari APBN ini memaksa Pemerintah daerah memaksimalkan potensinya mencoba menutupi kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah khususnya Kediri kota dan Kabupaten yang sebelumnya sudah mengalokasikan anggarannya untuk berbagai program pembangunan, terpaksa ‘menunda’ pelaksanaan program pembangunan tersebut dan mengalihkan alokasi dananya untuk penanganan dan penanggulangan Covid-19.
Di Kota Kediri, anggaran untuk Prodamas harus dihentikan sementara, dan dialihkan untuk upaya pemutusan rantai penyebaran Covid-19. Penundaan program pembangunan tersebut juga terjadi di Kabupaten Kediri dengan tujuan untuk sedapat mungkin menghentikan penyebaran virus berbahaya ini. Tidak hanya di sector kesehatan, Pemkab dan Pemkot harus juga memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat sebagai dampak Covid-19.
Diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah, memaksa masyarakat dan dunia usaha memiliki pola kehidupan baru yang mampu ‘mengguncang’ ekonomi masyarakat. Himbauan untuk ‘di rumah saja’ dan ‘hindari kerumunan’, membuat jalanan, mall, pasar dan tempat-tempat hiburan / wisata menjadi sepi.
Dampaknya, pengusaha angkutan harus mengurangi armadanya karena penumpang jauh berkurang, pertokoan harus merumahkan karyawannya, tempat hiburan juga harus menutup usahanya. Beberapa Pandemi ini melanda, banyak karyawan terkena PHK, beberapa pengusaha bahkan gulung tikar tidak mampu mempertahankan bisnisnya. Di sinilah peran pemerintah pusat maupun daerah melalui berbagai program stimulus diharapkan mampu mengurangi himpitan beban ekonomi masyarakat Kediri.
Masyarakat korban PHK harusnya bisa menikmati stimulus dari pemerintah, berupa bantuan tunai, pembebasan berbagai tagihan (pajak, cicilan kredit, beban listrik, bantuan bahan pokok DLL), tetapi belum semua masyarakat terdampak menikmati stimulus dari APBN maupun APBD tersebut. Begitu pula UMKM serta para petani, belum menikmati stimulus pemerintah tersebut secara merata.
Ekonomi vs Kesehatan
Gonjang-ganjing Pandemi Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan berakhir ini memaksa masyarakat Kediri memulai pola hidup baru. Bila tidak sangat penting, mereka dianjurkan untuk tetap di rumah, bekerja dari rumah. Semua aktivitas berkumpul orang banyak di luar rumah harus dihindari semaksimal mungkin, untuk memutus rantai meyebaran virus mematikan ini.
Pola hidup baru ini mampu ‘me-restart’ perekonomian masyarakat untuk lebih bijaksana lagi dalam beraktivitas. Saat ini masyarakat seolah-olah dipaksa untuk memilih antara prioritas kesehatan atau kepentingan ekonomi, karena sumber ekonomi masyarakat Kediri sebagian besar harus dihasilkan dari beraktivitas di luar rumah dan belum bisa dialihkan dengan ‘bekerja dari rumah’.
Bagaimana seorang petani, tukang bangunan, sopir angkot, ojek online atau pedagang sayuran di pasar, dipaksa untuk tidak keluar rumah?. Darimana mereka bisa medapat penghasilan?. Sedangkan kalau mereka keluar rumah untuk bekerja, mereka harus berinteraksi dengan orang lain yang menambah risiko mereka tertular Covid-19. Disinilah masyarakat harus cerdas memilih antara kepentingan ekonomi atau menjaga kesehatan agar tidak terkena penyakit.
Sungguh merupakan pilihan sulit bagi masyarakat, mengingat kalau tidak keluar rumah, mereka tidak bisa bekerja mendapatkan penghasilan. Bila tidak mendapat penghasilan, maka ia dan keluarganya nanti makan apa?. Di lain sisi, kalau mereka bekerja keluar rumah, menambah risiko mereka untuk tertular Covid-19 dan melanggar aturan pemerintah tentang PSBB.
Di satu sisi himpitan kebutuhan hidup masyarakat makin besar, karena beberapa bulan terakhir mereka mengurangi aktivitas ekonomi, berakibat menurunnya produktivitas masyarakat. Di satu sisi, pemerintah ingin segera memutus penyebaran Covid-19 untuk mengakhiri Pandemi ini. Kenyataannnya belum ada tanda-tanda pandemi ini akan berakhir.
Data yang ada, di Jawa Timur (termasuk Kediri), jumlah positif Covid-19 makin bertambah, Korban meninggalpun juga makin banyak. Daya tampung rumah sakit juga sudah over kapasitas’. Beban APBN dan APBD juga makin berat. Saat ini kasus positif Covid-19 di Indonesia lebih dari 85 ribu orang. Sedangkan biaya perawatan pasien per orang yang harus ditanggung pemerintah rata-rata sekitar Rp.200 juta per orang.
Upaya memutus rantai penyebaran Covid-19, sebenarnya bisa saja dilakukan pemerintah dengan cara membuat aturan melarang semua masyarakat untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain. Konsekuensinya, kebutuhan hidup semua masyarakat dipenuhi pemerintah. Masalahnya, pemerintah tidak punya anggaran untuk hal tersebut. Alokasi dana stimulus Rp 650 trilyun itupun diambilkan dari dana cadangan dan sangat menguras keuangan Negara maupun daerah.
Masyarakat harus mengetahui, biaya besar yang dikeluarkan pemerintah tersebut belum semuanya. Keluarga penderita juga harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak sedikit jumlahnya. Kondisi ini harus benar-benar dipahami masyarakat untuk bisa mempertimbangkan langkah apa yang harus dilakukan. Apakah mereka akan tetap membandel keluar rumah bekerja demi alasan ekonomi, atau masyarakat harus di rumah saja untuk alasan kesehatan, mengingat betapa mematikannya virus ini.
Langkah terbaik yang bisa ditempuh masyarakat adalah dengan menerapkan pola hidup baru. Mulai bekerja normal untuk mempertahankan ekonominya. Tetapi tetap mematuhi semua anjuran pemerintah, memperhatikan protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak aman dan selalu menjaga kebersihan diri sendiri, keluarga dan lingkungan, serta menjaga kondisi agar selalu sehat mengingat kesehatan itu mahal harganya. Yang terpenting selalu berdoa agar pageblug Covid-19 ini segera berakhir, sehingga semua bisa berjalan normal kembali..Aamiinn..
Penulis: DR.Edwin Agus B. SE. MM
Dosen Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Kadiri