• Login
  • Register
Bacaini.id
Friday, August 1, 2025
  • BERANDA
  • BACA
  • SOSOK
  • EKONOMI
  • BACAGAYA
  • INTERNASIONAL
  • OPINI
  • TEKNO & SAINS
  • REKAM JEJAK
  • PLURAL
  • HISTORIA
  • INFORIAL
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BACA
  • SOSOK
  • EKONOMI
  • BACAGAYA
  • INTERNASIONAL
  • OPINI
  • TEKNO & SAINS
  • REKAM JEJAK
  • PLURAL
  • HISTORIA
  • INFORIAL
No Result
View All Result
Bacaini.id

Menyelamatkan Kedaulatan Digital dan Masa Depan Data WNI

ditulis oleh Redaksi
31/07/2025
Durasi baca: 8 menit
522 5
0
Menyelamatkan Kedaulatan Digital dan Masa Depan Data WNI

Hayatun Nufus Hamami

Wajah Komunikasi Politik Indonesia di Era Perdagangan Global

Selama masa pemerintahannya, Presiden Donald Trump menekankan strategi “America First”, yang secara umum menolak pendekatan multilateral dan lebih memilih kesepakatan bilateral yang menguntungkan AS secara ekonomi. Hal ini termasuk dalam domain perdagangan digital, di mana USA (United State of America) memiliki kepentingan besar untuk menjaga dominasi perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Facebook (Meta), Amazon, dan Microsoft.

PresidenTrump mendorong negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, untuk tidak membatasi aliran data lintas negara (cross-border data flows) dan tidak mewajibkan lokalisasi data (data localization).  USA ingin perusahaan mereka tetap bisa mengakses dan menyimpan data pengguna dari negara mana pun, termasuk Indonesia, tanpa kewajiban menyimpan data itu secara fisik di wilayah Indonesia.

Pada sisi lain,  tahun 2019, Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), mewajibkan pelaku sistem elektronik strategis untuk menyimpan data di pusat data dalam negeri. Ini dipandang oleh pihak USA sebagai hambatan perdagangan digital. Kemudian Presiden Trump secara tidak langsung memberikan tekanan kepada Indonesia melalui: Ancaman penghapusan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP), yaitu fasilitas perdagangan istimewa yang selama ini diberikan kepada negara berkembang, termasuk Indonesia. Lobi terhadap Indonesia dalam kerangka negosiasi perdagangan digital dan perlindungan kepentingan korporasi USA.

Di tengah kemajuan teknologi informasi dan transformasi digital, data warga negara menjadi aset strategis baru. Tidak hanya sebagai sumber informasi untuk pelayanan publik, data warga negara kini menjadi komoditas bernilai tinggi dalam ekosistem kapitalisme digital. Di sinilah letak pentingnya komunikasi politik: bagaimana elite pemerintah mengartikulasikan dan menegosiasikan posisi Indonesia dalam dinamika global, termasuk dalam relasi dengan negara-negara kuat seperti Amerika Serikat.

Pertanyaannya, apakah Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup kuat untuk melindungi kedaulatan digitalnya, khususnya di tengah tekanan geopolitik dan perdagangan digital dari negara-negara seperti AS, terutama dalam konteks perjanjian dagang era Donald Trump yang cenderung transaksional dan dominatif? Dan bagaimana era pemerintahan Prabowo Subianto akan menyikapi hal ini?

Komunikasi Politik dan Kedaulatan Digital: Perspektif Teoretis

Dalam teori komunikasi politik, hubungan antara negara dan warga negara dalam isu-isu publik bukan hanya tentang kebijakan, tetapi tentang wacana, representasi, dan framing. Para pemikir seperti Harold Lasswell dan Manuel Castells melihat komunikasi sebagai arena perebutan makna, di mana isu seperti kedaulatan data menjadi titik krusial. Menurut Castells (2009), kekuasaan dalam masyarakat jaringan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kontrol atas sumber daya fisik, tetapi juga atas informasi dan algoritma. Negara yang gagal mengontrol infrastrukturnya sendiri, termasuk server, aplikasi, dan metadata warga negara, secara perlahan berpotensi akan kehilangan kedaulatan politiknya.

Pro-Kontra Perjanjian Akses Data dan Tekanan Global

Pada era Presiden Donald Trump, AS memperkuat pendekatan “America First” dalam diplomasi dagangnya, termasuk dalam hal digital trade. Salah satu contohnya adalah tekanan kepada negara-negara berkembang agar membuka akses data warga mereka untuk perusahaan-perusahaan teknologi asal AS. Meski tidak secara eksplisit dituangkan dalam satu perjanjian bilateral, namun kecenderungan itu tampak dalam banyak negosiasi perdagangan dan kerja sama digital. Banyak analis melihat ini sebagai bentuk “imperialisme data”,  di mana negara-negara besar memaksa negara berkembang menjadi pasar pasif bagi produk dan platform digital mereka. Indonesia, misalnya, berada dalam posisi sulit: di satu sisi ingin mendapatkan investasi teknologi dan pengakuan global; di sisi lain, ingin melindungi data warganya dari eksploitasi asing.

Pemerintahan Presiden Prabowo yang akan menjabat di tengah tekanan global ini harus mengambil sikap. Pro-kontra muncul dari berbagai pihak: Pihak pro-akses data lintas batas (biasanya dari kalangan pelaku industri teknologi, ekonom pro-pasar, dan pejabat dagang) menilai bahwa kerja sama dengan raksasa digital asing akan mempercepat inovasi dan transformasi ekonomi. Sementara itu, pihak kontra (akademisi, aktivis hak digital, sebagian politisi nasionalis) berpendapat bahwa tanpa kontrol penuh atas data warga, Indonesia menjadi koloni digital yang rentan terhadap pengawasan asing dan penyalahgunaan privasi.

Ada beberapa tokoh sentral dalam perdebatan ini. Di pihak Indonesia, ada Johnny G. Plate (Mantan Menkominfo RI) pernah mendukung kebijakan pembangunan pusat data nasional dan pelokalan data. Hal ini didukung oleh Edward Snowden, meski bukan warga Indonesia, Snowden menjadi ikon global penting soal pentingnya perlindungan data dan ancaman pengawasan massal oleh negara besar.

Ada Presiden Donald Trump, dengan pendekatannya yang keras dan unik, membuka mata bahwa negara adidaya bisa kapan saja menggunakan kekuatan ekonomi lewat pengenaan tariff 19% untuk memaksa  kebijakan digital akses data warga negara Indonesia. Hal ini tentu saja menimbulkan reaksi kurang senang dari pihak warga negara Indonesia, terutama kalangan nasionalis yang sangat menjaga adanya kedaulatan data.  Prabowo Subianto, sebagai Presiden terpilih, akan menjadi tokoh penentu arah kebijakan digital Indonesia: akan melawan atau tunduk pada tekanan global?

Ketimpangan Global: Indonesia dalam Pusaran Diplomasi Data

Tentu saja di pihak USA dan Indonesia akan ada posisi pro dan kontra dalam melakukan komunikasi politik terkait siapa yang diuntungkan dan dirugikan?. Pihak yang pro akses data lintas batas  adalah posisi Presiden Trump dan korporasi besar dan perusahaan teknologi USA mengklaim bahwa pembatasan data digital menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi digital global. Mereka menilai kebijakan data localization akan menambah biaya operasional, mempersulit integrasi sistem global, dan merugikan konsumen dalam hal kecepatan dan efisiensi layanan. Pejabat dagang pro pasar bebas berpendapat bahwa arsitektur internet harus tetap “tanpa batas” dan “interoperabel”.

Sementara itu tentu sah dan rasional jika ada posisi ‘Kontra Akses Data Lintas Batas Tanpa Kendali’. Ini posisi Indonesia dan posisi Uni Eropah yang memberlakukan GDPR (General Data Protection Regulation), yaitu peraturan perlindungan data di Uni Eropa (UE) yang bertujuan untuk melindungi data pribadi warga negara UE. Peraturan ini memberikan hak-hak baru kepada individu terkait data mereka dan menempatkan kewajiban yang lebih ketat pada organisasi yang memproses data tersebut.

GDPR berlaku untuk semua organisasi yang beroperasi di UE, atau yang memproses data pribadi warga UE, terlepas dari lokasi organisasi tersebut. Kekhawatiran utama adalah kedaulatan data: tanpa kontrol atas di mana dan bagaimana data disimpan, Indonesia dan UE khawatir berpotensi kehilangan kendali atas informasi strategis warganya. Potensi penyalahgunaan data pribadi, manipulasi perilaku politik, dan pengawasan massal oleh entitas asing.  Dampaknya terhadap Indonesia adalah  Indonesia berisiko menghadapi retaliasi dagang (tindakan balasan) bila terlalu protektif, namun juga akan kehilangan kedaulatan digital bila terlalu longgar.

Ketimpangan Kuasa Digital

Jika kebijakan Presiden Trump memberikan tariff dagang 19%, namun berkewajiban membuka akses data digital WNI,  Indonesia hanya menjadi pasar data tanpa nilai tambah strategis. Indonesia saat ini belum berada pada posisi yang setara dalam diplomasi data. Dengan ketergantungan tinggi pada teknologi asing (Google, Meta, Amazon Web Services), posisi tawar Indonesia cenderung lemah. Hal ini makin diperparah dengan minimnya infrastruktur digital nasional yang mandiri. Ketimpangan ini terlihat dalam banyak kasus, seperti: Penyimpanan data di luar negeri oleh aplikasi popular. Lemahnya pengawasan terhadap penjualan data pribadi oleh pihak ketiga.  Inkonsistensi kebijakan perlindungan data pribadi yang belum kuat secara hukum dan implementasi.

Solusi Strategis: Jalan Menuju Kedaulatan Digital

Presiden Prabowo, Kementrian Informasi dan Data Digital dan Asosiasi Jasa Pengguna Internet dan pihak akademisi dan peneliti perlu membangun ‘Infrastruktur Digital Nasional dan Lokal” yang berdaulat dan kuat.  Pusat data nasional harus diperluas dan disubsidi, agar instansi pemerintah dan start-up lokal tidak bergantung pada server luar negeri.  Indonesia juga perlu memppercepat Implementasi UU PDP ( Undang-undang Perlindungan Data Pribadi). Hal ini harus cepat di rumuskan dan segera dijalankan dengan perangkat hukum dan lembaga pengawasan independen. 

Presiden Prabowo perlu terus melakukan Diplomasi Digital Berkelanjutan: Indonesia perlu membangun aliansi global dengan negara-negara Selatan (Global South) dan Uni Eropa untuk memperjuangkan tata kelola data yang adil dan setara.  Juga melakukan ‘Pendidikan Literasi Digital’ yang tanpa henti. Agar masyarakat Indonesia dan negara-negara berkembang dan menengah memiliki  kesadaran akan hak digitalnya, agar tidak hanya negara, tapi juga warga bisa membela privasinya. Selain itu perlu audit dan transparansi platform digital asing dari berbagai negara yang beroperasi di Indonesia.

Pemerintah harus mewajibkan perusahaan asing melakukan audit publik atas penggunaan data warga negara Indonesia. Ini perlu dilakukan agar terjadi kedaulatan dan kesetaraan akses data digital di tingkat global. Jangan hanya kewajiban Indonesia terhadap USA, juga sebaliknya.

Posisi Penulis: Bergerak dari Pasif ke Aktif

Sebagai penulis dan warga negara, saya memandang Indonesia tidak boleh pasrah menjadi objek dalam geopolitik digital. Era Prabowo harus menjadi momen untuk membalikkan posisi: dari pengguna teknologi menjadi pemilik sistem; dari pasar pasif menjadi perancang regulasi. Kritik terhadap pendekatan proteksionis harus dipahami dalam konteks lebih luas: ini bukan soal anti-globalisasi, tapi soal keadilan struktural dan keberlanjutan kedaulatan nasional. Jika Prabowo sungguh ingin menjadikan Indonesia berdikari dan dihormati di dunia internasional, maka dimulai dari melindungi data rakyatnya.

Penutup: Kedaulatan Tidak Boleh ‘Digital Buta’

Komunikasi politik bukan hanya tentang pidato dan kampanye, tapi tentang bagaimana negara menjelaskan dan memperjuangkan kepentingan rakyatnya di forum global. Dalam era digital, kedaulatan bukan lagi hanya terletak di batas teritorial, tetapi juga di batas server dan algoritma. Kita butuh pemimpin yang paham betul bahwa data adalah bentuk baru dari kekuasaan.

Pemerintahan Prabowo harus menyadari bahwa setiap keputusan tentang membuka akses data kepada pihak USA, bukan hanya soal ekonomi digital, tapi juga menyangkut harga diri dan martabat bangsa. Jangan sampai Indonesia merdeka secara fisik, tetapi dijajah dalam bentuk yang lebih halus,  melalui kode dan kabel.

Artikel ini ditulis untuk membuka ruang diskusi publik yang setara seperti yang disarankan pakar komunikasi Jurgen Habbermas,  dan tidak mencerminkan posisi institusi tertentu. Isu ini mencerminkan ketimpangan relasi dagang dan kuasa digital antara Indonesia dan USA yang perlu disikapi Presiden Prabowo dan timnya. Di era Trump, tekanan atas kebijakan data Indonesia memperlihatkan bagaimana akses data digital menjadi bagian dari strategi geopolitik dan ekonomi. Indonesia perlu menyeimbangkan kepentingan nasional atas kedaulatan data dan perlindungan warga, juga dengan kebutuhan untuk tetap terhubung dengan ekonomi digital global.(*)

Penulis: Hayatun Nufus Hamami*
*) Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Referensi:

Castells, M. (2009). Communication Power. Oxford University Press.
European Union. (2016). General Data Protection Regulation (GDPR). Regulation (EU) 2016/679. Retrieved from https://eur-lex.europa.eu/eli/reg/2016/679/oj
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2019). Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Jakarta: Kominfo.
Lasswell, H. D. (1948). The structure and function of communication in society. In L. Bryson (Ed.), The communication of ideas (pp. 37–51). Harper & Brothers.
Office of the United States Trade Representative. (2020). Generalized System of Preferences (GSP) review of Indonesia. Retrieved from https://ustr.gov/
Snowden, E. (2019). Permanent Record. Metropolitan Books.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). (2021). Digital Economy Report 2021: Cross-border data flows and development. United Nations. https://unctad.org/webflyer/digital-economy-report-2021
White House. (2017). President Trump’s “America First” trade policy. Office of the Press Secretary. Retrieved from https://trumpwhitehouse.archives.gov
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. Public Affairs.

Print Friendly, PDF & EmailCetak ini
Tags: digitalperdagangan globalpresiden donald trumpUniversitas Sahid Jakartawni
Advertisement Banner

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

Kulit Wajah dan Rambut Lebih Sehat dengan Air Beras

Kulit Wajah dan Rambut Lebih Sehat dengan Air Beras

Ketegangan Politik Era Soekarno Lebih Sangar: Perdana Menteri Sjahrir Diculik

Ketegangan Politik Era Soekarno Lebih Sangar: Perdana Menteri Sjahrir Diculik 

Arti Bendera One Piece yang Coba Saingi Merah Putih di HUT RI

Arti Bendera One Piece yang Coba Saingi Merah Putih di HUT RI

  • Habis Mak Rini Terbitlah Rijanto-Beky, PAN: Bukan Pertandingan Balas Dendam, Tapi…

    Soal Jabatan Sekda Pemkab Blitar Terkesan Slintutan

    1448 shares
    Share 579 Tweet 362
  • Saat Sukarni Desak Bung Karno Mundur dari Presiden, Hatta Membela

    618 shares
    Share 247 Tweet 155
  • Kepemilikan tanah dengan Letter C, Petuk D, dan Girik mulai tahun 2026 tidak berlaku. Mulai urus sekarang juga !

    15455 shares
    Share 6182 Tweet 3864
  • Djarum Grup Akuisisi Bakmi GM, Pendapatannya Bikin Melongo

    16599 shares
    Share 6640 Tweet 4150
  • Pembangunan Tempat Ibadah GKJW di Kota Kediri Dihentikan Paksa

    642 shares
    Share 257 Tweet 161

Bacaini.id adalah media siber yang menyajikan literasi digital bagi masyarakat tentang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan keamanan, hiburan, iptek dan religiusitas sebagai sandaran vertikal dan horizontal masyarakat nusantara madani.

© 2020 - 2025 PT. BACA INI MEDIA. Hak cipta segala materi Bacaini.ID dilindungi undang-undang.
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Beriklan
  • Redaksi
  • Privacy Policy
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • BACA
  • SOSOK
  • EKONOMI
  • BACAGAYA
  • INTERNASIONAL
  • OPINI
  • TEKNO & SAINS
  • REKAM JEJAK
  • PLURAL
  • HISTORIA
  • INFORIAL

© 2025 PT. BACA INI MEDIA. Hak cipta segala materi Bacaini.ID dilindungi undang-undang.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist