Indonesia memiliki sebuah paradoks hukum yang mencengangkan. Di atas kertas, kita memiliki undang-undang kehutanan dengan sanksi paling “mematikan” di dunia. Namun, di lapangan, hutan kita terus digerogoti seolah aturan tersebut hanyalah macan kertas yang tak bertaring. Apa yang sebenarnya salah?
Jika menelisik UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, akan menemukan pasal-pasal yang seharusnya membuat korporasi gemetar.
Pasal 94 dan Pasal 99, misalnya, memuat ancaman yang tidak main-main bagi korporasi yang mendanai pembalakan liar atau melakukan pencucian uang dari hasil kejahatan tersebut, yakni pidana penjara seumur hidup dan denda hingga Rp 1 Triliun.
Angka ini jauh melampaui sanksi di Amerika Serikat (Lacey Act) atau Eropa yang umumnya hanya mengejar nilai denda administratif atau penyitaan aset.
Secara de jure, Indonesia tidak main-main. Undang-undang ini bahkan sudah mengantisipasi “tangan-tangan kotor” di dalam pemerintahan. Pejabat yang melindungi pembalak liar atau menerbitkan izin serampangan diancam pidana penjara hingga 10 tahun dan denda Rp 10 miliar.
Lantas, mengapa penebangan liar masih merajalela?
Masalahnya bukan pada kurangnya “peluru” dalam pistol hukum kita, melainkan pada siapa peluru itu ditembakkan. Penegakan hukum oleh aparat yang menjadi kunci pencegahan dan pemberantasan penggundulan hutan.
Inilah letak ironinya. Sementara sanksi korporasi begitu berat, hukum di lapangan sering kali “tajam ke bawah”.
UU ini memang membedakan sanksi bagi warga sekitar hutan dengan ancaman yang jauh lebih ringan (3 bulan hingga 2 tahun penjara). Namun, dalam banyak investigasi lapangan, justru warga kecil inilah; kurir, penebang upahan, atau petani ladang, yang paling sering mengisi statistik penangkapan.
Sementara korporasi besar yang memodali operasi, menerima, atau mengubah status kayu ilegal menjadi legal, sering kali lolos dari jerat pasal “seumur hidup” tersebut.
Perbandingan dengan negara Barat menunjukkan kesalahan strategi yang fatal. Eropa dan AS tidak berfokus pada memenjarakan orang seumur hidup, tetapi mereka mematikan “aliran darah” bisnisnya.
Mereka menutup akses pasar. Jika kayu itu ilegal, ia tidak bisa dijual, titik. Di Indonesia, kita mengandalkan ancaman fisik (penjara), namun sistem peradilan kita sering kali gagal membuktikan rantai komando hingga ke “otak” kejahatan korporasi.
Pasal 109 UU No. 18/2013 memungkinkan penuntutan terhadap korporasi dan pengurusnya, bahkan memungkinkan penutupan perusahaan. Namun, seberapa sering kita mendengar sebuah konglomerasi kayu ditutup paksa dan didenda 1 triliun rupiah? Sangat jarang.
Kesimpulannya, Indonesia memiliki senjata bak nuklir dalam bentuk UU P3H, tetapi kita enggan menekan tombolnya pada target yang tepat. Selama penegakan hukum masih tebang pilih, hanya menghajar penebang kecil dengan sanksi fisik tapi gagal memiskinkan cukong besar melalui denda maksimal, maka ancaman Rp 1 triliun dalam lembaran negara itu hanya akan menjadi tulisan tanpa nyawa.
Kita tidak butuh undang-undang yang lebih seram. Kita butuh keberanian untuk menggunakan undang-undang yang sudah ada, dan tentunya bukan oleh aparat yang korup.
Masyarakat juga harus mulai sadar bahwa perilaku mereka merusak hutan, maka mereka sendiripun yang terkena imbas dan kerusakan yang telah dibuat.
Penulis: Danny Wibisono*
*)Kepala Litbang Bacaini.id





