Seorang pekerja seks komersial di Kota Kediri mengaku surplus meski pandemi mencekik.
Malam semakin larut di sebuah café yang terletak di Jalan Jaksa Agung Suprapto Kota Kediri. Tak banyak pengunjung yang nongkrong meski waktu telah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Malam itu, bacaini.id membuat janji dengan Bunga, seorang perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial.
Tak mudah mengajak Bunga untuk bertemu. Apalagi pertemuan ini untuk wawancara, bukan bertransaksi seksual.
Setelah cukup lama menunggu, sosok yang dinanti tiba. Bunga muncul ditemani seorang teman perempuannya. “Maaf, habis minum sedikit, biar setelah ini bisa langsung tidur nyenyak,” katanya membuka percakapan.
Tentu saja minum yang dimaksud bukan kopi atau teh, melainkan minuman keras. Karena itulah dia mengajak teman untuk mengawal jika terjadi apa-apa di jalan.
Penampilan Bunga malam itu cukup elegan. Mengenakan baju terusan hingga di atas lutut, Bunga mengikat rambutnya dan menyibakkan ke depan. Kombinasi hitam putih pada bajunya cukup kontras dengan warna kulit Bunga yang putih.
Bunga duduk dan memesan lemon tea hangat sebagai teman ngobrol. Perempuan berusia 30 tahun ini tak terlihat canggung berbicara dengan lawan jenis yang baru dikenalnya. Mungkin karena pengaruh miras yang ditenggaknya sebelum ke café. Aroma alkohol cukup menyengat selama pembicaraan berlangsung.
Bunga mengawali kisahnya dari pengalaman pahit saat digerebek polisi awal tahun 2019 silam. Saat itu Bunga bekerja di panti pijat di Kota Kediri setelah merantau dari tempat asalnya di Malang.
Di tempat itu, Bunga tak sekedar memijat. Dia juga membuka layanan plus-plus kepada pelanggannya. Aktivitas itu sempat dia jalani cukup lama, sebelum akhirnya digerebek petugas.
Usai ditangkap, Bunga dipaksa mengikuti program rehabilitasi di Dinas Sosial Kota Kediri. Di sana dia diajarkan teknik menjahit sebagai bekal bekerja. Harapannya, Bunga tak lagi mencari nafkah dengan bertransaksi seksual.
Sayangnya upaya itu gagal. Dengan dalih tak memiliki modal untuk membeli mesin jahit dan membuka usaha barunya, Bunga kembali ke bisnis esek-esek. Kali ini dia memilih bersolo karir alias tak bekerja kepada orang lain seperti saat di panti pijat. “Saya memanfaatkan aplikasi pertemanan MIChat,” katanya.
Aplikasi MiChat memang lagi digandrungi para lelaki. Di sana mereka bisa menemukan teman terdekat berdasarkan lokasi. Aplikasi inilah yang dimanfaatkan Bunga untuk menjerat pria yang ingin bertransaksi seksual dengannya. Alasan lain dirinya menggunakan MIChat adalah lebih leluasa menentukan waktu bekerja. Bahkan pendapatannya juga jauh lebih baik dibandingkan ikut panti pijat yang harus berbagi keuntungan.
Aplikasi MIChat seperti pasar bebas bagi Bunga. Di sana mereka bisa memajang foto dan keterangan untuk bertransaksi seksual.
Ketika terjadi kesepakatan dengan konsumen, Bunga memilih hotel menengah atas sebagai tempat “bekerja”. Dia menghindari hotel kelas melati dengan dalih kerap menjadi sasaran razia petugas. Tentu saja pemilihan hotel ini turut mempengaruhi tarif yang dipatok.
Dalam sehari Bunga mengaku mampu melayani 2-4 pria hidung belang. Jumlah tersebut dianggapnya sudah maksimal karena menguras banyak tenaga.
Bunga tak mau menyebutkan tarifnya untuk sekali kencan. Namun dengan jumlah pelanggan tersebut, dia mampu mengantongi uang Rp 2,5 – 3 juta sehari. “Kadang ada yang menawar parah. Kalau lagi sepi banget ya, kita terima aja,” katanya.
Meski berpenghasilan lumayan, Bunga tak bekerja tiap hari. Dalam seminggu dia hanya membuka layanan dua hari saja. Sisa waktunya dimanfaatkan untuk pulang ke Malang menjenguk dua anaknya. Mereka diasuh kakek neneknya. Selama ini Bunga menyembunyikan profesi yang digelutinya dari keluarga.
Bunga tak tahu sampai kapan akan menggeluti bisnis esek-esek. Yang jelas, dia menyukai bekerja di Kediri di banding kota lain seperti Surabaya dan Malang. “Pria di sini lebih menghargai perempuan yang bekerja seperti saya,” tutupnya.
Penulis: Karebet
Editor: HTW