Puluhan pedati dan kapal barang hilir mudik di kawasan Sumampir. Kapal layar yang datang dari berbagai daerah bersandar di Koplakan untuk menurunkan barang. Mayoritas membawa kebutuhan pangan.
Masyarakat Kediri mengenal tempat itu sebagai Semampir, sebuah kelurahan yang berada di Kecamatan Kota Kediri, yang berbatasan langsung dengan Sungai Brantas.
Sejarahwan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengatakan Koplakan berada di perbatasan Sumampir dan Jongbiru. Tempat pemberhentian kapal layar ini beroperasi pada akhir abad ke-13, tepatnya pada masa transisi Kerajaan Kadiri atau Panjalu ke Kerajaan Majapahit. Koplakan dibangun sebagai tempat peristirahatan juru mudi untuk turun minum.
“Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa tempat pemberhentian seperti itu identik dengan molimo (main, mendem, medok, madat, maling) termasuk di Koplakan tersebut,” ujar Dwi Cahyono kepada Bacaini.id, Selasa, 9 Februari 2021.
Kawasan Semampir, menurut Dwi, menjadi pusat perekonomian Kerajaan Kadiri pada saat itu. Mulai dari penginapan, lapangan pertandingan untuk para jawara, tempat bongkar muat, hingga pasar umum berada di daerah itu.
baca ini Kompleks Semampir Wajah Kelam Kota Kediri
Tak jauh dari Sumampir, tepatnya di Jongbiru, juga terdapat pelabuhan utama yang difungsikan sebagai tempat bersandar kapal barang maupun tumpangan milik Kerajaan Kadiri. Selain itu Jongbiru juga menjadi perempatan jalur air, yakni ke timur, barat, selatan, dan utara.
“Tamu-tamu dari luar pada zaman itu tidak semuanya diterima di pusat kerajaan, namun di sekitar pelabuhan. Misalnya ketika Raden Wijaya beserta para jawara beraudiensi kepada Jaya Katwang diterima di salah satu ruang tamu di Jongbiru. Tak jauh dari situ juga ada tempat gladi kanuragan, uji tanding perang,” katanya.
Segala infrastruktur tersebut disebut juga disebut dalam beberapa karangan sastra kidung Majapahit dan sastra Panji Semirang.
Koplakan di daerah Sumampir tidak terpusat di satu titik, namun tersebar di jalur darat dan air. “Koplakan itu ada sisi gelapnya, tempat orang bisa mendapatkan wanita penghibur, termasuk Guyangan di Nganjuk yang dulu juga menjadi tempat pemberhentian pedati dan sebagainya,” kata Dwi Cahyono.
Dia juga mengklaim menemukan bukti konkrit adanya pelacuran di tempat itu. Di beberapa sastra juga menyebut jika dahulu ada jalir (pekerja seks komersial) dan juru jalir yang beroperasi di era kerajaan. Keberadaan mereka ternyata dipantau oleh kerajaan dan diwajibkan membayar pajak.
baca ini Makam Eyang Putri Semampir Fakta Atau Mitos
Meski menjadi tempat prostitusi, bukan berarti seluruh orang di kawasan itu melakukan kegiatan yang melanggar norma. Bahkan Cahyono meyakini jika jumlah pria hidung belang yang bermain pelacur sangat sedikit.
Kesimpulan itu diambil dari makna kata Sumampir, yakni Su (baik) dan Mampir (singgah sementara). “Jadi tempat itu ada baiknya juga. Namun seiring perjalanan waktu, praktik prostitusi di sana terus berjalan hingga masa kini,” tutup Dwi Cahyono.
Era Kolonial
Jauh sebelum dikenal sebagai tempat prostitusi yang terorganisir, lokalisasi Semampir adalah bekas pemakaman Cina. Makam ini sudah ada sejak era kolonial Belanda.
Sejarahwan Universitas Nusantara PGRI Kediri, Sigit Widyatmoko mengatakan komunitas pedagang Cina menyewa lahan tersebut kepada pemerintah Belanda. “Lokasi pastinya setahu saya mulai dari depan SPBU Semampir hingga masuk sedikit di kawasan Jongbiru,” kata Sigit, Rabu 10 Januari 2021.
Lambat laun komplek pemakaman Cina itu digunakan sebagai tempat para pekerja imigran melakukan praktek prostitusi. Hal itu dilakukan lantaran area makam Cina cukup sepi dan memliki bentuk yang bagus dan bersih.
Penggunaan makam sebagai tempat prostitusi ini dimulai sejak banyaknya pekerja pribumi dari luar daerah maupun imigran Eropa yang datang ke Kediri. “Kediri ini dulu menjadi jujukan para pekerja, karena banyaknya perkebunan dan pabrik berdiri di sini. Perputaran ekonominya sangat bagus,” kata Sigit.
Lambat laun keberadaan pekerja migran ini membawa dampak sosial, salah satunya munculnya prostitusi di kuburan Cina Semampir. Beberapa makam lain juga menjadi tempat praktik serupa yakni Kuburan Bok Ijo dan Kelurahan Pojok.
Para pekerja imigran sebagian besar tinggal di Kelurahan Mrican dan Pesantren. Dua kelurahan itu menjadi rumah bagi mereka lantaran memiliki pabrik gula besar dan lahan perkebunan yang luas.
Sigit menjelaskan pertumbuhan lokalisasi itu tak serta merta besar. Praktik mereka diawali dari warung kopi remang-remang. Kemudian terjadi transaksi seksual dan menjelma menjadi lokalisasi. Keberadaan para pelacur itu cukup sporadis meski terkonsentrasi di area kuburan Cina. “Sampai akhirnya tempat itu dikenal dari mulut ke mulut, dan muncul komunitas penjaja tubuh yang menetap di daerah bong,” katanya.
Praktik itu terus berlanjut dari tahun ke tahun, bahkan hingga masa kemerdekaan. Tahun 1969 Pemerintah Kota Kediri yang dipimpin Walikota Anwar Zainudin mendirikan sebuah kompleks lokalisasi untuk mengorganisir para pramuria.
Penulis: Karebet
Editor: HTW