Bacaini.ID, KEDIRI – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilihan umum dianggap tidak berdampak substantif pada proses demokrasi. Hal ini justru memicu kekosongan kekuasaan kepala daerah dan legislatif, dan membuka ruang kembalinya otoritas kekuasaan pusat.
Seperti diketahui Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional adalah pemilihan presiden dan DPR RI. Sedangkan pemilu lokal adalah pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta anggota DPRD provinsi dan kota/kabupaten.
“Pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal ini sebenarnya tidak begitu berpengaruh pada kualitas pemilu di Indonesia. Mau serentak atau dipisah, penyakit pemilu di Indonesia sulit dihilangkan, seperti politik uang,” kata Adi Prayitno, M.Si., pengamat politik sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam akun YouTube @Adi Prayitno Official.
Hal lain yang menjadi persoalan pemilu adalah campur tangan aparatur negara dalam proses pemungutan suara. Persoalan ini juga tidak serta merta hilang ketika pelaksanaan pemilu dipisah ataupun dilakukan secara serentak.
Putusan MK tersebut, menurut Adi, justru berdampak pada nasib anggota DPRD dan kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2025. Sementara sesuai putusan MK, pelaksanaan pilkada dan pemilihan DPRD paling cepat adalah 2 – 2,5 tahun berikutnya, yakni tahun 2031 atau 2032.
Di sinilah kekosongan jabatan di DPRD dan kepala daerah akan terjadi. Sebab secara konstitusi, anggota DPRD maupun kepala daerah memiliki mandat dengan jangka waktu lima tahun.
Pemerintah harus berpikir keras untuk mengatasi kekosongan kekuasaan atau jabatan selama separuh periode. Kalaupun pada akhirnya ditunjuk penjabat sementara, akan membutuhkan sedikitnya 545 pejabat, dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Persoalan yang sama terjadi di tubuh DPRD kota, kabupaten, dan provinsi. Dengan kekosongan jabatan selama 2 – 2,5 tahun, maka pemerintahan akan berjalan tanpa kontrol legislatif. Sementara pemerintahan di daerah akan diambil alih oleh pemerintah pusat melalui penjabat kepala daerah.
Dilema ini juga terjadi jika pemerintah memutuskan untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan DPRD, yang membawa konsekuensi perubahan peraturan dan UU pemilu menyesuaikan putusan MK. Sebab mandat mereka hingga saat ini adalah lima tahun.
Penulis: Hari Tri Wasono