Bacaini.id, KEDIRI – Menghisap opium atau yang populer dengan sebutan candu, sudah menjadi gaya hidup warga Kediri, Jawa Timur. Pada abad ke-19, menikmati opium dilakukan di pondok-pondok umum yang tersedia.
Sebagian besar dari mereka berasal dari kelas sosial bawah, mulai pedagang keliling, pekerja upahan, kuli, hingga tukang. Berbeda dengan golongan priyayi dan orang-orang Tionghoa berkantong tebal.
Para kuli menghisap jenis opium rendah, yakni opium mentah atau candu yang disuling dan dicampur penguat rasa. Beberapa candu memakai racikan tanaman liar daun awar-awar yang dicampur sedikit gula.
Mereka menggunakan batang daun papaya sebagai perangkat hisap yang usai dipakai langsung buang.
Sementara para priyayi Jawa dan orang-orang Tionghoa kaya menghisap candu berkualitas baik dan lebih mahal. Mereka memakai pipa-pipa penghisap bermutu bagus (badudan). Sebagian besar orang Tionghoa menikmati opium di rumah atau klub-klub opium pribadinya.
“Rakyat kebanyakan menghisap campuran yang lebih rendah kualitasnya dengan menggunakan pipa sederhana dan menikmati ramuan lebih murah, seperti tike, daun awar-awar (ficus septica), dirajang halus dan dicampur dengan candu dan gula,” tulis James R Rush dalam buku “Candu Tempo Doeloe, Pemerintah, Pengedar dan Pecandu 1860-1910 .
Menghisap candu bagi para priyayi Jawa menjadi life style. Bagi mereka opium menjadi bagian keramahtamahan sosial. Opium selalu hadir di acara pesta yang digelar priyayi Jawa. Mereka memakai candu sebagai suguhan para tamu laki-laki.
Pada masyarakat desa dan perkebunan, bagi-bagi opium menjadi tradisi di setiap musim panen padi dan awal petik kopi. Sebagian orang meyakini candu memiliki pengaruh baik pada stamina.
Opium memberi energi………
Baca halaman 2