Hingga 80 persen perhitungan real count KPU berjalan, perolehan suara Prabowo-Gibran meninggalkan jauh pasangan Ganjar-Mahfud (16%) dan Anies-Muhaimin (24.49%). Perolehan Prabowo-Gibran melesat di angka 58.83% dengan dukungan 75.386.556 suara.
Menariknya, perolehan suara Ganjar-Mahfud tidak berbeda jauh dengan perolehan suara PDIP hasil pileg. Ini membuktikan jika pendukung Jokowi (yang populer dengan Jokowi Effect) telah melakukan migrasi dari PDIP kepada Prabowo Subianto.
Menurut pendapat saya, perpindahan itu tidak serta merta karena figur Gibran Rakabuming Raka, tetapi kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi yang mencapai 80%.
Animo masyarakat kepada program Jokowi yang berpihak pada rakyat kecil seperti bantuan sembako, pembelaan terhadap rakyat atas korban mafia tanah, penerbitan sertifikat tanah, hingga hilirisasi industri serta pengambilan saham Freeport yang sarat nilai nasionalisme, telah memikat hati rakyat.
Bahkan jika ada yang bertanya siapa sosok presiden yang bisa dekat dengan rakyatnya, mereka adalah Soekarno dan Jokowi. Sehingga tak berlebihan jika muncul pendapat yang menyebut bahwa Jokowi adalah ‘anak ideologis’ Soekarno.
Ironisnya, citra tersebut justru tidak melekat sama sekali dengan ‘anak biologis’ Bung Karno. Megawati contohnya. Beberapa kali Ketua Umum PDIP itu mengeluarkan pernyataan yang justru tidak mewakili citra diri partainya yang lekat dengan wong cilik.
Seperti ketika harga minyak goreng tak terjangkau masyarakat, Megawati meminta untuk merebus. Kemudian mengkritik ibu-ibu yang melakukan pengajian namun lupa mengurus anak. Serta menyerang dan meremehkan Gen Z dan Gen Milineal yang dianggap tidak memiliki sumbangsih kepada bangsa dan negara.
Mungkin beliau lupa, bahwa data KPU menyebut generasi inilah yang mendomasi daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2024. Jauh lebih besar dari simpatisan Ganjar-Mahfud yang mendukungnya pada pilpres kemarin.
Dalam perspektif komunikasi politik, pernyataan Megawati ini ditangkap sebagai tantangan untuk dilawan oleh generasi milenial. Solidaritas yang terbangun melalui media sosial membangkitkan perlawanan bersama untuk menolak diremehkan, apalagi disebut sebagai anak tukang bakso yang tak layak diambil sebagai menantu.
Inilah kegagalan anak-anak biologis Soekarno dalam mengemas dan menarasikan figur Bung Karno dalam perspektif wong cilik.
Penulis berpendapat, sudah saatnya PDIP mereformasi diri dengan membuka pintu kepemimpinan di luar keluarga. Masih ada waktu untuk berbenah sebelum partai berlambang moncong putih ini ditinggalkan pemilih. Karena di luar sana, masih banyak kader-kader hebat yang mencintai PDIP dengan tulus seperti Bambang Pacul, Budi Gunawan, atau Joko Widodo.
Penulis: Danny K Wibisono*
*) Mahasiswa Ilmu Politik IISIP Jakarta dan Analis M-Data Analytic