Perhitungan Real Count dari KPU telah mencapai 75% dari total suara yang masuk. Pasangan Prabowo-Gibran mengantongi hampir 65 juta suara (58,92%). Jauh meninggalkan pasangan Anies-Imin 24,09% dan Ganjar-Mahfud 16,99%.
Menyambung tulisan saya sebelumya Anti Klimaks Jokowi Kepada PDIP, dimanfaatkan oleh Prabowo menjadi strategi yang ampuh dengan menggandeng Gibran. Sebuah keputusan besar di tengah tingginya elektabilitas Erick Thohir sebagai kandidat cawapres, serta isu dinasti politik yang mendera.
Di awal deklarasi pasangan capres dan cawapres, banyak yang memprediksi jika kehadiran Gibran akan merugikan kubu Prabowo. Bukan tanpa alasan, Wali Kota Solo ini datang dengan ‘membawa’ persoalan, mulai polemik putusan Mahkamah Konstitusi hingga dinasti politik.
Tapi Prabowo punya pertimbangan lain. Fokusnya tertuju kepada sosok di belakang Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain adalah Presiden Joko Widodo. Prabowo meyakini jika kehadiran Jokowi akan menjadi kekuatan politik baru yang besar.
Ditambah pengalaman pahit Prabowo saat ‘dikhianati’ Megawati atas Perjanjian Batu Tulis tahun 2009, dimana Ketua Umum PDIP itu sempat berkomitmen akan menggandengnya sebagai cawapres.
Mengutip pendapat Miriam Budiardjo (1988:52) yang ditulis P. Antonius Sitepu (2004), seseorang atau individu yang bisa mempengaruhi proses pengambilan keputusan bisa menjadi kekuatan politik.
Ia juga menyebut bahwa kekuatan politik bisa bersifat formal atau non formal. Kekuatan politik formal contohnya partai politik. Sedangkan non-formal adalah bagian dari bangunan civil society.
Dengan demikian, kekuatan politik dapat diartikan sebagai kekuatan individual atau kolektif yang dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan politik.
Ditinjau dari teori ilmu politik, langkah yang diambil Prabowo sudah dihitung sangat matang. Keputusannya menggandeng Gibran telah ‘memaksa’ Presiden Jokowi untuk memberikan dukungan penuh kepadanya. Kebetulan situasi relasi Jokowi dengan PDIP sudah berada di titik nadir terendah.
Suka tidak suka, gaya kepemimpinan Jokowi yang egaliter telah membangun loyalitas di akar rumput. Kemunculan relawan Jokowi yang berasal dari berbagai partai politik dan ormas tak bisa dibendung, hingga melahirkan istilah Jokowi Effect.
Mereka adalah orang-orang yang mencintai Jokowi tanpa memandang perbedaan ideologi partai. Sehingga tak heran jika jumlah mereka jauh lebih besar dari kader partai, hingga mampu memenangkan pasangan Prabowo – Gibran pada pemilu kemarin.
Survei media Kompas misalnya, dengan gamblang memastikan kemenangan Prabowo – Gibran yang sangat telak terhadap pasangan lainnya. Perolehan Ganjar – Mahfud yang didukung PDIP nyungsep di bawah 17%. Angka yang tak terpaut jauh dengan perolehan di Pemilu 2024 sebanyak 11.837.622 suara atau 16,78%.
Fakta ini memperkuat prediksi saya sebelumnya, bahwa suara Ganjar-Mahfud hanya akan disumbang oleh pendukung PDIP. Sedangkan pendukung Jokowi ramai-ramai berpindah kepada Prabowo-Gibran.
Sejumlah pengamat dan media menyoroti jika di balik kemenangan mereka ada praktik abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh Presiden Jokowi. Meski dalam ilmu politik tidak ada satupun hukum positif yang ditabrak. Ini hanyalah soal persepsi.
Jika relasi PDIP dan Jokowi masih seromantis dulu, niscaya tudingan penyalahgunaan kekuasaan tidak akan pernah muncul. Kita lihat bagaimana publik cuek saja ketika Jokowi hadir dalam deklarasi Ganjar Pranowo sebagai capres.
Pun saat Jokowi menjadi influencer PDIP yang namanya selalu disebut dalam orasi politik PDIP. Ini adalah soal persepsi dan framming.
Jika boleh fair, tudingan abuse of power seharusnya juga dilemparkan kepada Anies Baswedan. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies patut dicurigai memanfaatkan kekuasannya untuk menggalang suara.
Indikatornya mudah, di saat perolehan suara Anies – Muhaimin di berbagai daerah terpuruk, suara mereka terpaut tipis dengan Prabowo – Gibran di DKI Jakarta. Menurut perhitungan real count KPU, Anies meraih 40,42%. Sedangkan Prabowo unggul tipis dengan 41,89%.
Manuver yang dilakukan Anies melalui kebijakan pemerintahannya diyakini menjadi faktor pendulang suara signifikan pada pilpres kemarin. Seperti melanjutkan reklamasi pulau baru di Jakarta meski tidak sesuai dengan janji kampaye pilkada, mempromosikan kebijakan pembangunan rumah ibadah baru di Jakarta seperti Gereja dan Klentheng (Vihara) untuk membangun citra diri.
Upaya Anies membangun solidaritas umat Muslim sebagai politik identitas terbukti tak mempan. Demikian pula gaya menyerang dan menjatuhkan kandidat lain jauh dari simpati rakyat. Termasuk retorika dengan bahasa tinggi yang tak mudah difahami pedagang asongan dan buruh tani.
Klaim Anies sebagai akademisi yang didukung penuh kelompok berpendidikan tinggi dan kelas menengah juga pepesan kosong. Survei Kompas membuka fakta jika kalangan elit hingga menengah bawah menjatuhkan pilihan pada Prabowo-Gibran.
Kalaupun perdebatan ini dikembalikan kepada isu politik dinasti yang tidak dilakukan Anies dan Ganjar, tudingan itu ibarat gajah di pelupuk mata tak nampak.
Jauh sebelum Gibran tampil menjadi Wali Kota Solo dan calon wakil presiden, praktik politik dinasti sudah berlaku di pengurus partai. Tak perlu disebutkan siapa saja, karena publik sejatinya sudah memahami dengan baik tentang matinya kaderisasi di tubuh partai akibat praktik kekeluargaan.
Maka tak perlu lagi mencari dalih ataupun kesalahan atas hasil pemilu ini, karena rakyat sudah menentukan calon pemimpin mereka.
Penulis: Danny K Wibisono*
*) Mahasiswa Ilmu Politik IISIP Jakarta dan Analis Big Data Analitik