Bacaini.ID, KEDIRI – Sejarah panjang pesantren di Indonesia merefleksikan perjalanan Islam yang berakar dalam budaya lokal, menyatu dengan tradisi, dan berkembang sesuai zaman. Lembaga ini bukan sekadar tempat belajar agama, tetapi juga ruang pembentukan karakter, nilai-nilai sosial, dan spiritualitas yang telah diwariskan lintas generasi.
Sejumlah sejarawan menyebut pesantren mulai tumbuh bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Ada yang menyebut Aceh sebagai titik awal, namun banyak pula yang menempatkan desa Gapura, Gresik, Jawa Timur sebagai lokasi berdirinya pesantren pertama yang dibawa oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim.
Tokoh penting lainnya adalah Sunan Ampel, yang mendirikan pesantren di Kembang Kuning, Surabaya, dan dikenal sebagai pendidik generasi ulama awal yang berpengaruh.
Secara etimologis, istilah “pesantren” diyakini memiliki kaitan dengan kata “shastri” dari bahasa Sanskerta, yang berarti orang yang memahami kitab-kitab suci Hindu. Namun dalam konteks Islam di Indonesia, pesantren menjadi tempat belajar ilmu-ilmu keislaman secara intensif, dengan sistem asrama dan pengajaran langsung dari seorang kiai.
Masjid menjadi pusat kegiatan spiritual dan intelektual, sementara pondok menjadi tempat tinggal para santri yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Pesantren tradisional atau salaf dikenal dengan sistem pembelajaran non-klasikal. Seorang kiai mengajar langsung kepada santri melalui kitab-kitab klasik berbahasa Arab tanpa harakat, yang dikenal sebagai “kitab gundul”. Metode pengajaran yang digunakan antara lain; wetonan, yakni Kiai membacakan kitab, sedangkan santri menyimak sambil mencatat penjelasan.
Metode lainnya adalah Sorogan atau Bandongan, yakni santri membaca kitab di hadapan kiai, yang kemudian mengoreksi dan memberi penjelasan.
Tidak ada batasan umur atau waktu dalam proses belajar di pesantren. Santri bisa datang dari latar belakang apa pun dan belajar selama yang mereka inginkan. Kebebasan memilih kitab dan metode pengajian menjadi ciri khas sistem pendidikan pesantren yang fleksibel dan inklusif.
Empat Pilar Pesantren
Setiap pesantren umumnya memiliki empat komponen fisik utama; Kiai sebagai pemimpin, santri sebagai peserta didik, Masjid sebagai pusat ibadah dan pembelajaran, serta pondok sebagai tempat tinggal santri.
Seiring perkembangan zaman, banyak pesantren mulai membuka diri terhadap sistem pendidikan formal. Pesantren modern mengadopsi kurikulum sekolah, membuka jenjang pendidikan seperti SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Beberapa bahkan menyelenggarakan pelatihan keterampilan seperti pertanian, pertukangan, seni, olahraga, dan kepramukaan.
Sistem “Madrasah dalam Pesantren” dinilai oleh tokoh pendidikan Mukti Ali sebagai model ideal yang menggabungkan kekuatan tradisi dan kebutuhan zaman. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga pusat pengembangan potensi manusia secara menyeluruh.
Pesantren tidak menjanjikan pekerjaan secara langsung, seperti yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid, namun ia membentuk manusia yang siap bekerja dan berkontribusi. Nilai-nilai seperti kesederhanaan, kemandirian, disiplin, solidaritas, dan ketahanan mental menjadi bekal penting bagi para santri dalam menghadapi kehidupan.
Hubungan antara kiai dan santri dibangun atas dasar hormat dan tawadhu. Dalam kehidupan pesantren, sikap individualisme dan egoisme cenderung melebur dalam semangat kebersamaan dan gotong royong. Pendidikan karakter ini menjadi salah satu kekuatan utama pesantren yang sulit ditemukan dalam sistem pendidikan lain.
Tujuan pendidikan pesantren sendiri adalah mencetak manusia berilmu dan bertakwa. Dua hal ini dianggap tak bisa dipisahkan. Ilmu tanpa takwa bisa berbahaya, dan takwa tanpa ilmu bisa lemah. Maka, pesantren terus berbenah agar tetap relevan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai benteng pendidikan Islam.
Kini, pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga laboratorium sosial, pusat pemberdayaan masyarakat, dan ruang dialog antarbudaya. Dengan semangat adaptif dan akar tradisi yang kuat, pesantren berpotensi menjadi model pendidikan alternatif yang menjawab tantangan zaman.
Penulis: Hari Tri Wasono