KABAR duka itu datang tiba-tiba selepas waktu dhuhur Senin 22 Agustus 2021. Masyarakat Blitar Raya kehilangan sosok ibu nyai Hj. Sumbulatin, pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamal Blitar Jawa Timur. Di antara ibu-ibu nyai lain di negeri ini, nyai Sumbulatin termasuk sosok yang menjadi standarisasi miniatur Ibu Nyai Nusantara. Di usia 75 tahun, dalam diri bu nyai Tin (Begitu santri Al-Kamal menyebut) mengikuti sejumlah amal shalih yang merepresentasikan beliau adalah sosok hamba Allah yang di dalam perjalanan hidupnya disemati atribut sosial ke-Indonesiaan dan keagamaan dengan sebutan Bu Nyai. Ini didasarkan kepada dawuh Nabi Muhammad Saw. Sayyid al-Qawmi Khadimuhum, pemimpin masyarakat adalah orang-orang yang berjasa kepada kaumnya.
Dalam diri bu Nyai Tin terdapat paket lengkap amal shalih : sebagai hamba Allah, sebagai istri dari seorang kiai, sebagai santri, sebagai pengamal thariqah, sebagai pejuang masyarakat, sebagai pengajar, juga sebagai pengasuh pesantren yang tekun.
Di antara sebagaian amal shalih (perjuangan dan jasa) dari bu Nyai Tin yang dapat diungkap dalam tulisan ini adalah dia sebagai hamba Allah yang taat. Ini tercermin dari keseharian amaliyah ibadah bu nyai sehari-hari, terutama dalam hal pelaksanaan salat jamaah, salat malam, salat dhuha, dan puasa wajib maupun sunnah.
Belum lagi kewajiban lain seperti mengeluarkan zakat, dan melaksanakan ibadah haji, cerminan dari seorang hamba Allah yang taat. Tentunya ini adalah ukuran-ukuran lahir kita, karena memang hak kita adalah mengamati hal yang lahir dan bukan hak kita menilai yang lebih jauh, senyampang seseorang dinilai taat menjalankan ajaran Allah, hak kita dalam hati, mensimpulkan bahwa seseorang adalah termasuk orang yang shalih dan shalihat termasuk di dalamnya bu nyai Sumbulatin. Sesuai dawuh “nahnu nahkumu bi dhawahir wa Allahu yatawala ala sarair”, kita menghukumi dengan lahirnya sedangkan Allah yang mempunyai otoritas absolut untuk menghukumi batin seseorang. Maka dengan kriteria dhahir di atas kita yakin bahwa profil ideal bu nyai ada dalam diri bu Hj. Sumbulatin. Dengan usianya yang 75 tahun, kalau dilihat dari sisi dhahir lagi sudah banyak akumulasi ketaatan yang telah dilakukan. Terutama dalam penghambaan kepada Allah SWT. Baik ibadah sunnah maupun dalam ibadah wajib. Dilihat dari kaca mata Al-Ghazali, dengan teori husnu al-sabiqah (baik Ketika masih hidup) dan husnu al-khatimah (akhir hidup yang baik dan mulia), maka bu nyai Tin termasuk orang yang husnu al-khatimah. Seorang hamba yang mengawali hidupnya dalam penuh ketaatan, akhirnya dapat memetik buahnya memperoleh akhir kehidupan yang baik.
Bu Nyai Tin juga sebagai santri, artinya dia pernah menjalani proses-proses pengajian di pesantren selama beberapa tahun di ndalemnya sendiri, Pesantren Al-Kamal. Bersama Kiai Imam Moekhayat atau Mbah
Thobib (ayahnya sendiri), Kiai Thohir Wijaya (pamannya), di Pondok Pesantren al-Hikmah Nglangkapan Srengat Blitar dan juga di Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH. Ali Maksum. Maknanya dalam tradisi pesantren adalah orang yang menjalani proses pencarian ilmu-ilmu agama Islam secara matang, baik proses pengajiannya dijalani di jalur lingkungan keluarganya sendiri yang memang keluarga yang menekuni bidang pendidikan agama Islam atau ngaji bersama orang Lain, tabarukan dan istifadah.
Proses pendidikan agama yang historical circumtances, melalui tahapan-tahapan pendidikan pada umumnya, membentuk profil bu nyai Tin yang kompeten dalam penguasaan ilmu agama Islam, khususnya kitab kuning yang dikaji di lingkungan pesantren Nusantara. Ini berdasarkan pergaulan penulis selama 18 tahun dengan beliau, materi pembicaraan selalu berhubungan dengan diskusi agama Islam, dinamika pengelolaan pesantren sampai kepada materi-materi pengajaran di pesantren.
Dari sisi pengembaraan intelektualnya. Bu nyai Tin telah melalui proses keluar dari “zona nyaman”. Yakni “ngangsu ilmu” ke luar dari lingkungan keluarganya sendiri yang juga pondok pesantren. Pada periode tahun 1960-an. Di saat belum banyak orang mengakses pendidikan dengan bebas, bu nyai Tin sudah menimba ilmu hingga ke Yogyakarta. Hal itu memperlihatkan ghirah, semangat keilmuannya begitu tinggi serta wawasan ilmiah yang diperolehnya juga begitu luas. Pengalaman intelektualnya mempengaruhi kepribadiannya yang selalu comparable (berbagai perspektif) dalam menyikapi berbagai problematika yang dihadapi. Khususnya terutama masalah-masalah pengelolaan Lembaga Pendidikan, Lembaga kesejahteraan sosial anak, Kelompok Bimbingan Haji dan Pondok Pesantren.
Data lain menunjukkan bahwa bu nyai adalah seorang istri yang taat mendampingi suami, selalu menjalankan hak dan kewajibannya (huquuq al-zawjiyah). Sejak tahun 1968 sampai tahun 2012, bu nyai Tin mendampingi Kiai Zen Masrur dalam menjalankan kehidupan keluarga. Bersama-sama membesarkan satu putri dan tiga putra untuk meneruskan perjuangan, cita-cita orang tua, dalam hal khidmah (mengabdi) kepada pesantren, pendidikan dan masyarakat. Idealisme orang tua dari bu Nyai Tin mewujudkan cita-cita dari suami untuk membentuk generasi-generasi penerus, nampaknya sudah tercapai. Hal itu tercermin dari aktivitas sosial yang dilanjutkan putra putrinya. Dari sisi kebiasaan sehari-hari bu nyai Tin lebih progresif (berpikiran berkemajuan) dibanding suaminya, Alm. Kiai Zen Masrur.
Ini terlihat dari kiprah-kiprah sosial dan kependidikan sehari-hari yang tidak kalah dengan sang suami. Sebagai seorang perempuan pesantren, adalah lompatan ide dan etos sosial, dibanding dengan perempuan sebayanya, terutama untuk ukuran Kabupaten Blitar dan sekitarnya. Akhirnya lembaga pendidikan di Pesantren Al-Kamal semasa beliau masih hidup bersama Kiai Zen Masrur, banyak diwarnai ide-ide genuine dari bu Nyai Tin. Baik dalam hal mengelola sekolah formal yang beragam, panti asuhan, hingga bimbingan haji.
Sebagai istri kiai, bu Nyai Tin juga turun langsung dalam mengajar, mendidik dan mengasuh siswa siswi atau santri. Perlu di ketahui juga bahwa bu nyai adalah seorang Pegawai Negeri Sipil di Madrasah Tsanawih Negeri 1 Kunir Wonodadi, Kabupaten Blitar. Sebuah madrasah yang sejarah pendirianya berasal dari hasil wakaf keluarga besar Pondok Pesantren Al-Kamal, yakni keluarga di mana bu nyai Tin lahir, tumbuh besar, sekaligus mengabdikan hidupnya. Sebagai seorang guru, bu nyai Tin juga mengajar kitab kuning kepada para santri di pesantrennya.
Guru atau ustadhah merupakan amaliyah sosial pendidikan yang begitu tinggi maqam derajatnya di sisi masyarakat dan di hadapan Allah Swt. Sebagai mana di dawuhkan kanjeng Nabi : keutamaan seorang berilmu melebihi seribu orang ahli ibadah, karena dilihat dari sisi jasa dan manfaatnya kepada orang lain. Demikian juga yang dilakukan bu Nyai Tin yang begitu sabar menjalani kehidupannya sehari-hari sebagai pengasuh dan pengajar di sekolah formal sekaligus mengajar kitab kuning di Pesantren. Kita sering melihat, ketika pagi subuh bu nyai Tin dengan sabarnya membacakan kitab kepada para santri, kemudian di saat santri bersiap berangkat sekolah, bu Nyai menyiapkan sarapan-sarapannya. Sesudah santri siap semua untuk berangkat sekolah beliau menunggu di teras rumah untuk bersalaman dengan seluruh santri putri seraya mendoakan “barakallah” semoga ilmu yang didapat oleh santriku bermanfaat dan barakah dalam kehidupan masa depannya.
Dari apa yang dilakukan bu Nyai Tin dapat dipahami bahwa bu Nyai Tin sadar betul bahwa beliau adalah seorang pendidik, pengajar, pengasuh pesantren yang mempunyai sikap tanggung jawab lahir dan batin untuk seluruh siswa dan santrinya. Bahkan di akhir masa hidupnya bu Nyai jarang tidur malam, karena memang kebiasaan beliau untuk selalu bermunajat dan beribadah kepada Allah di malam hari, mendoakan para santrinya supaya menjadi anak-anak yang sukses. Sering pada hari-hari tertentu, di berbagai acara, beliau berpesan : demi kepentingan santri dan umatnya, tanah-tanah yang beliau miliki lebih baik untuk dimanfaatkan, terutama yang berada di sekitar pondok pesantren. Memang perjuangan bu nyai Tin untuk pendidikan, pesantren dan masyarakat mengalahkan kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya.
Bu Nyai Tin juga seorang pengamal thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Rutinitas tersebut beliau jalani dengan tekun, baik harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Thariqah yang walaupun ibadah personal dari bu Nyai, tetapi membawa implikasi kepada orang-orang disekitarnya. Terutama bagi keluarga, santri dan masyarakat. Keluarga dan santri sering dimobilisir untuk mengadakan kegiatan dhikir, shalawat, berjanji secara berkala, baik di rumah beliau, di makam atau berkeliling di daerah-daerah tempat adanya majelis dhikir. Tidak peduli hujan atau terang benderang. Jam berapapun, ketika beliau ada kesempatan menghadiri majelis dhikir, selalu menyempatkan hadir bersama santri dan masyarakat. Akhirnya keluarga, santri-santri, masyarakat sekitar di bawah asuhannya seiring perjalannya waktu juga menjadi para muhibbin, pecinta shalawat, majelis dhikir terutama berhubungan dengan jamaah ahli thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah al-Nahdhiyah.
Inilah relasi-relasi social spiritual yang telah dibangun oleh bu nyai Tin yang mencerminkan bahwa dia adalah meniatur bu Nyai Nusantara dalam kacamata seorang santri dan pengamat.
Dari apa yang telah dia praktikkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan spiritualitas yang istiqamah, bu Nyai Tin mendapatkan apresiasi yang tinggi dari orang-orang di sekitarnya. Ini tercermin dari sisi lain bu Nyai Tin selain sebagai aktivis pendidikan, aktivis kegiatan thariqah, aktivis kegiatan muslimat Nahdhatul Ulama. Ibu Nyai juga sering didatangi tamu-tamu dari berbagai kalangan, terutama yang menginginkan doa restunya ketika seorang tamu mempunyai hajatan. Biasanya tamu bu Nyai Tin dari santri, wali santri, para pejabat-pejabat daerah, anggota dewan, calon-calon kepala daerah, berusaha untuk ngalap berkah, doa restu, semoga hajat-hajatnya dikabulkan oleh Allah Swt. Ini kemudian membentuk relasi sosial politik di pesantren Al-Kamal Blitar, hasil dari amal shalih bu Nyai Tin. Semoga amal shalih diterima oleh Allah Swt, ditempatkan di surgaNya bersama para shalihiin dan shalihat. Amiiin. (Dr KH. Asmawi Mahfudz M. Ag.*)
*) Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamal Blitar sekaligus pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung