Bacaini.ID, KEDIRI – Bendungan di Nusantara sudah ada sejak zaman kerajaan masa lampau. Menjadi bagian tidak terpisahkan dari peradaban sejak ribuan tahun lalu.
Bendungan salah satu bukti kecerdasan hidrolik masyarakat kuno. Bukan hanya alat pengendali air, tapi simbol ketangguhan dalam menghadapi bencana alam seperti banjir dan kekeringan.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha hingga masa pra-kolonial, struktur ini telah membentuk lanskap pertanian, ekonomi, dan kehidupan sosial. Bukti masyarakat Nusantara sudah melek teknologi pengelolaan air jauh sebelum pengaruh Barat datang.
Baca Juga:
- Kisah Kelam Kediri, Lahir dari Tumpahan Darah dan Air Mata
- Berburu Ikan Mabuk Sudah Ada Sejak Kerajaan Airlangga
Jejak bendungan pertama di Nusantara dapat ditelusuri hingga abad ke-9 Masehi, seperti Bendung Gomanta yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno sekitar tahun 850 M.
Prasasti-prasasti kuno, seperti Prasasti Kalasan dan Mantyasih mencatat bagaimana bendungan ini tidak hanya mencegah banjir, tetapi juga mengairi sawah-sawah luas, mendukung kemakmuran rakyat.
Perkembangan ini terus berlanjut melalui berbagai dinasti, dari Bendung Kamulan pada abad ke-10 hingga sistem irigasi rumit di era Majapahit, menunjukkan evolusi pengetahuan lokal yang adaptif terhadap alam tropis yang sering kali tak terduga.
Di antara warisan bendungan yang gemilang itu, Bendungan Waringin Sari yang dibangun Raja Airlangga pada tahun 1041 Masehi menonjol sebagai masterpiece mitigasi bencana.
Setelah kerajaan hancur akibat banjir dahsyat tahun 1016 M, Airlangga membangun struktur megah ini untuk mengalihkan aliran Sungai Brantas, menyelamatkan ibu kota Watan Mas, dan membuka lahan pertanian baru.
Airlangga, Raja Berkesadaran Mitigasi Bencana
Airlangga atau Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa, merupakan raja Kerajaan Kahuripan, dan kemudian Medang Kamulan, yang memerintah di Jawa Timur pada tahun 1019–1042/1043 M.
Airlangga salah satu raja Jawa kuno yang paling terkenal karena kesadaran tinggi terhadap mitigasi bencana banjir melalui pembangunan infrastruktur air, terutama bendungan. Dalam bahasa Jawa kuno disebut weringin sari atau bendung.
Bukti utama kesadaran mitigasi ini tertulis dalam Prasasti Kamalagyan yang berangka tahun 1037 Masehi (959 Saka). Secara spesifik mencatat peristiwa pembangunan sebuah bendungan atau ‘tambak’ di daerah Waringin Sapta.
Pembangunan ini dilakukan atas perintah Raja Airlangga untuk mengatasi banjir yang sering melanda wilayah muara Sungai Brantas dan mengganggu kehidupan masyarakat serta jalur perdagangan.
Bendungan ini berhasil mengalihkan aliran air Sungai Brantas yang meluap, mencegah banjir di ibu kota kerajaan dan membuka lahan pertanian baru yang sangat luas. Rakyatpun kembali makmur setelah bencana.
Lokasi bendungan yang dimaksud diyakini adalah Bendungan Waringin Sapta atau disebut juga Bendungan Sri Lestari di dekat Gunung Penanggungan, yang sampai sekarang masih terdapat sisa-sisa reruntuhannya dan dikenal sebagai ‘Tugu Wringin Lawang’.
Prasasti lainnya adalah Prasasti Turryan (929 Saka / 1007 M). Prasasti ini sudah menyebut sistem irigasi canggih sejak masa ayah mertuanya, Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa.
Prasasti Kamalagyan (1037 M) menyebut pembuatan waduk dan saluran air untuk pertanian. Dan Prasasti Gandhakuti (1042 M) menyebut Airlangga membagi kerajaan menjadi dua (Janggala dan Panjalu/Kadiri) karena alasan pengelolaan air dan pertanian yang semakin luas setelah bendungan selesai.
Pralaya, Membuat Raja Trauma Pada Bencana
Kepedulian Airlangga pada mitigasi bencana, tidak lepas dari sejarah kerajaan Medang yang hancur akibat Pralaya, bencana besar.
Airlangga naik tahta justru setelah kehancuran kerajaan Medang akibat Pralaya di tahun 1016–1017 M, yang diduga kuat karena banjir bandang, letusan Merapi ditambah serangan Wurawari, kelompok yang dianggap sebagai perusuh.
Ibukota Watan Mas rusak parah, Airlangga mengungsi ke hutan selama beberapa tahun sebelum kembali membangun kerajaan.
Pengalaman traumatis ini membuatnya sangat fokus pada pengendalian air. Airlangga menjadi salah satu raja Nusantara pertama yang tercatat melakukan mitigasi bencana banjir secara sistematis dengan membangun bendungan besar, bahkan 1000 tahun sebelum konsep ‘disaster mitigation’ modern muncul.
Bendungan Waringin Sapta yang ia buat merupakan bukti nyata kecerdasan hidrolik masyarakat Jawa kuno.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





