SURABAYA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, mengingatkan para Calon Kepala Daerah (Cakada) bahwa keikutsertaan mereka dalam Pemilihan Kepala daerah serentak tahun 2020 bukan untuk cari untung ketika menjabat. Apalagi menjadi ‘pedagang’ yang memperjual-belikan kewenangannya.
Menurut dia, semua pemangku kepentingan seharusnya bisa mengembalikan proses penyelenggaraan pilkada menjadi kancah pemilihan kepala daerah berintegritas, sehingga modal yang dikeluarkan cakada untuk biaya pilkada tak diharapkan kembali dengan cara mengkomersialkan jabatannya.
“KPK memperingatkan, pilkada bukan ajang dagang atau bisnis. Asumsi mereka adalah ketika menjabat harus BEP (Break Even Point) pada dua tahun pertama, lalu tiga tahun terakhir untuk dapat modal sebagai biaya ikut pilkada berikutnya,” kata Ghufron, Kamis, 19 Nopember 2020.
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkkan per Juli 2020, sebanyak 21 Gubernur serta 122 Bupati, Walikota, dan Wakilnya, terjerat tindak pidana korupsi. Untuk Jawa Timur sebanyak 85 kasus, Kalimantan Barat 10 kasus, dan Papua Barat 22 kasus.
“Angka-angka tindak pidana korupsi oleh kepala daerah tersebut konsisten meningkat. Karenanya, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk pilkada serentak 2020 sebesar Rp15,19 Triliun bisa sia-sia,” ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat memberikan pembekalan cakada dan penyelenggara Pilkada Serentak 2020 di wilayah Provinsi Jawa Timur (Jatim), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Papua Barat, yang berlangsung di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis, 19 Nopember 2020.
Jenis-jenis korupsi kepala daerah sambung Ghufron, dibagi ke dalam lima modus. Pertama, intervensi dalam kegiatan belanja daerah, mulai Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah, bantuan sosial (bansos), dan program, pengelolaan aset, dan penempatan anggaran pemerintah paerah (pemda) di BUMD.
Kedua, intervensi dalam penerimaan daerah, mulai pajak daerah atau retribusi, pendapatan daerah dari pusat, serta kerja sama dengan pihak lain. Ketiga, perizinan, mulai dari pemberian rekomendasi, penerbitan perizinan, dan pemerasan. Keempat, benturan kepentingan dalam proses PBJ, rotasi atau mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan perangkapan jabatan.
“Terakhir penyalahgunaan wewenang, mulai dari pengangkatan dan penempatan jabatan orang dekat (nepotisme) sampai pemerasan saat adanya rotasi, mutasi, atau promosi ASN,” kata Ghufron.
Berdasarkan data tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai Juli 2020, tercatat total 1.032 perkara, terdiri atas perkara pengadaan barang dan jasa sebanyak 206 kasus, perizinan (23), penyuapan (683), pungutan (26), penyalahgunaan anggaran (48), tindak pidana pencucian uang (36), dan merintangi proses penindakan KPK (10).
Lebih lanjut dia berharap, rakyat memilih kepala daerah yang ketika terpilih memikirkan rakyatnya. Bukan kepala daerah yang tersangkut korupsi.
Penulis: Yovinus
Editor: Karebet