Bacaini.ID, KEDIRI – Sebagai kabupaten tua di Pulau Jawa, Kabupaten Kediri memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia. Di balik kemegahan Monumen Simpang Lima Gumul dan tahu goreng yang menggoda di warung kopi, Kediri menyimpan kisah panjang tentang asal-usul namanya.
Nama “Kediri” diyakini berasal dari kata Jawa Kuno kedi, yang berarti mandul atau kebiri. Dalam konteks spiritual Jawa, istilah ini bukanlah hinaan, melainkan simbol kesucian dan pengendalian diri. Seorang kedi dianggap telah melampaui nafsu duniawi, mencapai tingkat spiritual yang tinggi.
Penafsiran ini sejalan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa, di mana pengendalian hawa nafsu adalah jalan menuju kebijaksanaan. Sehingga nama Kediri bukan sekadar label geografis, melainkan cerminan dari laku hidup yang luhur.
Jejak nama Kediri dapat ditelusuri dalam prasasti-prasasti kuno seperti Prasasti Kwak dan prasasti Hantang, yang mencatat keberadaan Kerajaan Panjalu, nama lain dari Kediri, sebagai pecahan dari Kerajaan Kahuripan setelah Raja Airlangga membagi wilayahnya menjadi dua; Jenggala dan Panjalu.
Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan di bawah Raja Jayabaya yang terkenal dengan ramalan-ramalannya. Di masa itu, Kediri menjadi pusat sastra, perdagangan, dan spiritualitas, dengan Sungai Brantas sebagai urat nadi kehidupan.
Hingga kini Sungai Brantas yang membelah wilayah Kediri menjadi dua masih menjadi denyut perekonomian. Di tepi sungai inilah tumbuh industri tahu yang kini menjadi ikon kuliner Kediri. Tak heran jika kota ini dijuluki “Kota Tahu”, sebuah identitas baru yang berpadu dengan warisan lama.
Beberapa sejarawan juga menafsirkan nama Kediri sebagai turunan dari kata “diri” yang berarti berdiri atau tegak, merujuk pada pendirian kerajaan. Tafsir ini memperkaya narasi tentang asal usul nama Kediri.
Kediri bukan hanya tempat, tapi cerita. Dari prasasti batu hingga tahu hangat di pinggir jalan, kota ini terus menulis ulang dirinya, dengan sejarah sebagai tinta dan masyarakat sebagai pena.
Penulis: Hari Tri Wasono





